kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mewaspadai beban bank BUMN di tengah besarnya kredit afiliasi


Minggu, 01 September 2019 / 22:44 WIB
Mewaspadai beban bank BUMN di tengah besarnya kredit afiliasi
ILUSTRASI. Beban keuangan bank-bank pelat merah perlu diwaspadai.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beban keuangan bank-bank pelat merah perlu diwaspadai. Banyak kasus gagal bayar utang bernilai jumbo melibatkan bank milik negara sebagai debitur. Bahkan, ancaman kredit macet itu ada yang datang dari afiliasinya yakni perusahaan-perusahaan BUMN.

Kredit PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk , dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk banyak sekali terafiliasi dengan perusahaan milik negara saat ini.

Celakanya, ada yang tersandung macet seperti yang dialami PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Ketiga bank ini yang terlibat dalam kredit itu bersama sejumlah bank lain tengah berjibaku melakukan proses restrukturisasi.

Ancaman gagal bayar lainnya yang tak kalah besar datang dari Duniatex Group. Total utang grup ini Rp 18,6 triliun dan US$ 1,3 miliar. Ketiga bank BUMN juga tersangkut disitu. Lalu bagaimana solusi dan mitigasi risiko bank BUMN ke depan, termasuk dari ancaman kredit macet perusahaan afiliasinya?

Baca Juga: Bank Mandiri: Ada tiga skema restrukturisasi Krakatau Steel (KRAS)

Jika mengacu pada laporan keuangan per Juni 2019, BRI memiliki total kredit ke afiliasinya sebesar Rp 113, 96 triliun. Terbesar diberikan ke PLN yaitu Rp 30,7 triliun. Lalu Perum Bulog sebesar Rp 16,19 triliun, Pertamina Rp 6,9 triliun, Dirgantara Indonesia Rp 4,17 triliun, Kresna Kusuma Dyandra Marga Rp 2,89 triliun, Pegadaian Rp 2,6 triliun, KRAS Rp 2,48 triliun,Waskita Rp 2,46 triliun, Pupuk Kaltim Rp 2,4 triliun, Trans Jabar tol Rp 2,37 triliun dan lain-lain Rp 40,7 triliun.

Sementara, BNI memiliki outstanding kredit Rp 106,52 triliun kepada afiliasinya atau 19,3% dari total portofolio kredit perseroan per Juni 2019. Kredit terbesar disalurkan ke PLN senilai Rp 17,18 Triliun. Lalu disusul ke Perum Bulog Rp 11,61 triliun, Waskita Karya Rp 9,81 triliun, Telkom Rp 7,28 triliun, Jasa Marga Rp 7,07 triliun, Semen Gresik Rp 5,29 Triliun, Krakatau Steel Rp 4,7 triliun, Pegadaian Rp 4,63 triliun, Petrokimia Gresik Rp 3,9 Triliun, Kementerian Keuangan Rp 3,69 triliun, PTPN III sebesar Rp 3,04 triliun, PTPN VII Rp 2,12 triliun dan lain-lain.

Adapun penyaluran kredit Bank Mandiri kepada BUMN yang dilakukan pada segmen corporate banking mencapai Rp148,4 triliun per Juli 2019. Nilai ini meningkat sekitar 19% dibanding Rp124,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Bob Tyasika Ananta, Direktur Manajemen Risiko BNI yang baru saja bergeser jadi Direktur Treasury dan Internasional mengakui bahwa kondisi saat ini berat bagi bank karena perekonomian sedang bergeser.

Baca Juga: Meski isu PHK ribuan karyawan berembus, saham KRAS ditutup menghijau

Namun, dia menolak jika penyaluran kredit ke perusahaan BUMN disebut membebani Himbara. Pasalnya, rasio kredit bermasalah khusus untuk perusahaan afiliasinya masih lebih rendah yakni di bawah total NPL perseroan yang berada di level 1,8%-1,9% saat ini.

Eksposur kredit BNI ke perusahaan BUMN memang besar. Hanya saja, Bob menegaskan pemberian kredit itu masih dalam koridor yang wajar dan sudah dilakukan dengan sistem manajemen risiko yang baik.

"Kami punya sistem manajemen risiko untuk membatasi eksposur itu. Misalnya, tidak boleh lebih dari BMPK, bahkan host limit kami batasi 75% dari BMPK. Dan yang sampai ke host limit juga tidak banyak," jelasnya di Jakarta, Jumat (29/8).

Senada, Rohan Hapas Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri juga menyebut kualitas pembiayaan yang dilakukan perseroan ke BUMN masih sangat baik hingga saat ini dengan rasio NPL dikisaran 0%.

Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, beban yang ditanggung BRI terhadap perusahaan BUMN masih stabil. "Rasio NPL ke BUMN masih stabil di kisaran 1%," katanya belum lama ini.

Baca Juga: 2.683 pekerja kena PHK massal, saham KRAS memerah

Secara umum, lanjutnya, BRI tidak memiliki isu terkait Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) di mana batas maksimal pemberian kredit ke perusahaan BUMN adalah 30%.

Haru melihat, ruang bagi BRI salurkan kredit ke afiliasinya masih besar dengan jumlah modal inti perseroan mencapai Rp 190 triliun saat ini.

Adapun kredit yang disalurkan Bank BNI ke BUMN kebanyakan berkaitan dengan infrastruktur dan sektor energi. Untuk masuk ke sektor-sektor itu pun, Bob bilang, BNI tidak asal sembarangan. Ada kriteria-kriteria yang ditetapkan. Misalnya di jalan tol, perseroan hanya masuk ke proyek dengan investment return minimal 13%, jangka waktu pengembalian maksimal 15 tahun dan lain-lain.

Guna mengantisipasi risiko kredit bermasalah di kondisi ekonomi yang sedang berat, BNI memilih untuk semakin waspada dan mencermati perkembangan yang ada.

Baca Juga: PTPP berencana akuisisi Krakatau Tirta, KRAS buka diri untuk penawaran terbaik

Perkebunan dan properti adalah dua sektor yang paling dicermati perseroan saat ini karena harga komoditas tengah melambat dan penjualan properti menengah ke atas juga melambat.

Untuk pembiayaan di sektor perkebunan, BNI akan mempertimbangkan faktor harga, produktivitas kebun, dan value chain dari kebun. Salah satu kreditur BNI di sektor ini berasal dari BUMN yakni PTPN.

"PTPN ini ada bisnisnya yang bagus dan ada yang kurang bagus. Dalam melakukan pembiayaan kami melihat mereka sebagai grup. Misalnya gula lagi berat, sawit bagus, kita akan blended." jelas Bob.

Sedangkan dalam pembiayaan properti, BNI akan memperhatikan kemampuan membayar dari nasabahnya untuk KPR dan melihat siapa pengembang dan proyek yang akan dibangun dalam membiayai investasi atau modal kerja developernya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×