Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam menghadapi krisis kesehatan atau pandemi, industri keuangan saat ini bisa dibilang jauh lebih kuat dibandingkan krisis pada tahun 1997-1998 dan 2008. Lihat saja, per Februari 2020, rasio permodalan perbankan alias capital adequacy ratio (CAR) masih cukup tebal di level 22,42% menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meski begitu, pemerintah tetap tidak mau mengambil risiko dan memilih untuk mempersiapkan amunisi bagi industri khususnya perbankan agar likuiditas dapat terpenuhi. Hal ini diwujudkan dengan dikeluarkannya pandemic bonds atau obligasi pandemi oleh pemerintah. Sebelumnya instrumen ini disebut Recovery Bond yang bisa dibeli oleh Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral, perusahaan bank pelat merah (BUMN) dan juga swasta.
Baca Juga: Beban restrukturisasi kredit bisa menekan likuiditas perbankan
Tentunya, instrumen surat hutang ini menjadi salah satu dari jurus pemerintah untuk menjaga perekonomian di tengah gemburan wabah virus corona (Covid-19). Pemerintah sebelumnya sudah menganggarkan sekitar Rp 405 triliun untuk mengantisipasi Covid-19 yang utamanya difokuskan stimulusnya ke sektor kesehatan dan keuangan.
Tapi, kalau berkaca pada krisis tahun 1998 lalu, dana yang disiapkan itu sebenarnya jauh lebih rendah. Kala itu pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 600 triliun yang didalamnya berupa obligasi rekap dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Ekonom Bank Permata Josua Pardede anggaran yang disiapkan pemerintah saat ini sudah sangat sesuai walau lebih kecil dibandingkan tahun 1997-1998. "Namun, pengeluaran dari pemerintah ini juga mempertimbangkan kestabilan ekonomi di jangka panjang karena dengan pengeluaran yang lebih banyak, tentunya pemerintah harus mencari sumber-sumber pendanaan lain melalui SBN maupun pinjaman bilateral dan multilateral," ujarnya, Rabu (8/4).
Toh, Josua juga menilai kondisi sistem keuangan khususnya perbankan sudah lebih kuat sekaligus pemerintah sudah banyak belajar dari krisis 1998 dan 2008 dalam menghadapi krisis keuangan. Artinya, sejauh ini belum ada kebutuhan untuk bantuan khusus bagi perbankan seperti yang dilakukan lewat BLBI di masa lalu. "Oleh karena itu, ada baiknya otoritas terkait membantu melalui pelonggaran likuiditas dari perbankan saja untuk melewati tekanan dari krisis kesehatan karena Covid 19 ini," kata Josua.
Senada, pengamat perbankan Paul Sutaryono bilang, anggaran sebesar Rp 405 triliun sejatinya sudah melalui proses hitung-hitungan oleh pemerintah. Pun, wajar kalau angkanya lebih rendah dibanding krisis 1998.
Sebab, ketika itu ada 16 bank yang harus dilikuidasi sehingga menimbulkan risiko sistemik. Namun, saat ini kondisi modal perbankan dinilai sudah cukup kokoh. "Tidak perlu ada obligasi rekap seperti dulu. Cukup pinjaman likuiditas saja," tuturnya.
Baca Juga: OJK tegaskan layanan jasa keuangan di Jakarta tetap dapat beroperasi selama PSBB
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News