Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan pembiayaan dengan skala aset di bawah Rp 5 triliun semakin kesulitan mendapatkan komtimen pendanaan di tengah pandemi. Komisaris Independen PT Smart Multi Finance Jodjana Jody menilai, hal itu diperparah oleh adanya berbagai gagal bayar surat utang membuat mutlfinance kesulitan mencari dana di pasar modal.
“Kalau perusahaan besar dengan rating AAA tidak akan masalah, malah tengah menjadi hype saat ini. Multifinance kecil juga sangat tergantung pada pendanaan dalam negeri berupa kredit bank. Saat ini, bagaiman kita bisa kembali bangkit dan recovery, nah yang paling susah itu mendapatkan komitmen pendanaan,” ujar Jodjana dalam diskusi daring pada Kamis (27/8).
Ia menjelaskan, saat ini perusahaan pembiayaan harus melindungi karyawan dari pemutusan hubungan kerja. Juga tidak bisa mendatangi nasabah untuk memberikan pembiayaan dengan asalah protokol kesehatan. Bahkan banyak perusahaan pembiayaan pada April dan Mei tidak menyalurkan pembiayaan baru.
Baca Juga: OJK catat 38 perusahaan pembiayaan ajukan restrukturisasi pendanaan
Jodjana melihat pandemi telah mendisrupsi bisnis multifinance. Juga menekan pendapatan, lantaran ada ketakutan untuk menyalurkan pembiayaan baru ketika kondisi nasabah tidak diketahui sampai kapan bisa bertahan.
“Sehinga terdapat dua persoalan yakni likuiditas dan permintaan. Namun saat ini, kita tidak bisa mengoleksi pembiayaan nasabah karena program restrukturisasi. Sedangkan dari bank juga tidak memberikan suntikan. Jadi disini ada miss match, sehingga harus sama-sama bekerja sama,” jelasnya.
Setidaknya tiga pihak harus saling bekerja sama. Pertama, perbankan, harus proaktif memberikan restrukturisasi kepada multifinance. Lantaran multifinance butuh modal kerja, akibat hampir 30% pembiayaan nasabah telah direstrukturisasi. Hal ini menyebabkan koleksi tidak bisa diharapkan maka berat untuk membayar kembali ke perbankan.
“Kedua, dari pemerintah, sudah dilakukan dengan meningkatkan konsumsi lebat berbagai subsidi. Kita harapkan dan terus kita lobby bagaimana memberikan subisi pajak untuk konsumsi sperti yang telah dilakukan di Thailand yang mensubidi pajak otomotis sehingga omotifnya mulai bangkit,” tambahnya.
Ketiga, multifinance yang harus berkomitmen untuk memberikan prioritas yang bertanggung jawab untuk membayar pinjaman bank. Sehingga dibutuhkan komunikasi dengan perbankan, sehingga bisa mendapatkan restrukturisasi sembari menangkap peluang bangkitnya otomotif. Juga bisa mempertahankan efisiensi tanpa melakukan PHK.
Baca Juga: Restrukturisasi pembiayaan multifinance terdampak Covid-19 capai Rp 176,33 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News