Reporter: Nina Dwiantika, Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Roy Franedya
JAKARTA. Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU P3) yang mewajibkan bank BUMN membentuk unit khusus pertanian masih memicu pro-kontra meski sudah disahkan. Pemerintah meminta unit khusus tersebut harus berbentuk bank sementara bankir BUMN pembentukan unit khusus dianggap tidak perlu.
Direktur Pembiayaan Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementrian Pertanian, Mulyadi Hendiawan mengatakan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang mendiskusikan unit khusus pertanian tersebut yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Mulyadi menambahkan idealnya unit khusus pertanian berbentuk bank seperti BRI yang memiliki anak usaha BRI Agro yang fokus penyaluran kredit agribisnis. "Tahap awal kami rencanakan BRI Agro jadi pionir program ini yang kemudian diikuti bank BUMN lain. Nantinya, BRI Agro bisa bekerjasama dengan koperasi dan unit daerah guna menjangkau petani di daerah pelosok," ujarnya pada KONTAN, pekan lalu.
Direktur Utama Bank BRI Agro, Heru Sukanto mengaku siap menjalan amanat UU tersebut. Menurutnya, BRI Agro tidak memiliki kendala dalam program ini sebab baru saja mendapatkan suntikan modal Rp 450 miliar dari penerbitan saham baru atau right issue.
Saat ini 55% penyaluran kredit BRI Agro pada sektr agrobisnis seperti perkebunan kelapa sawit, kakao, tebu dan gula. Sisanya, pada sektor non agrobisnis seperti perusahaan pembiayaan, perdagangan dan manufaktur.
Dalam menjalankan program pembiayaan pertanian, BRI Agro akan memanfaatkan jaringan induk yang luas. Per Juni 2013, BRI Agro menyalurkan kredit Rp 3 triliun..
Tidak Perlu
Sekadar informasi, UU P3 merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menilai perbankan malas menyalurkan kredit pertanian. Hal ini ditengarai sebagai biang keladi tidak berkembangnya sektor pertanian di Indonesia.
Direktur Komersial Bank Mandiri, Sunarso mengatakan pemerintah tidak perlu mewajibkan bank bentuk unit khusus pertanian atau bank tersendiri, cukup dengan membentuk divisi saja. Maklum, menyalurkan kredit pertanian memiliki resiko tinggi dan butuh permodalan kuat. " Pertanian di Indonesia sifatnya pasang surut jadi ada potensi gagal panen," ujarnya.
Masalah lain, tidak semua bank BUMN menggarap sektor ini. Contohnya Bank BTN. Bank plat merah ini memiliki spesialisasi penyaluran kredit ke sektor perumahan. Bila dipaksa mendirikan unit khusus ataupun menggarap sektor ini malah meningkatkan beban dan berpotensi meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPL). Sebab, BTN tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai dalam mengelola kredit pertanian.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) pernah memberikan masukan agar yang diatur porsi kredit pertanian terhadap total kredit. Kebijakan ini dianggap lebih efektif karena bank harus memenuhi dan mampu memitigasi resiko bank.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News