Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio profitabilitas atau net interest margin (NIM) bank digital Tanah Air tampak jauh melampaui angka industri. Hal ini terjadi akibat segmentasi nasabah dengan profil risiko kredit yang tinggi.
Melansir data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2025, NIM industri perbankan hanya sebesar 4,45%, menurun dari 4,66% pada bulan yang sama tahun sebelumnya.
Namun, sejumlah bank digital justru mampu mencetak NIM yang sangat tinggi. Sebut saja PT Bank Amar Indonesia Tbk yang NIM-nya sebesar 24,93% di kuartal l tahun ini. Di periode yang sama, ada juga PT Bank Seabank Indonesia dengan NIM sebesar 19,28%, PT Bank Neo Commerce Tbk sebesar 15,84%, dan PT Allo Bank Indonesia sebesar 9,88%.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mempertanyakan hal ini. Menurutnya, NIM yang terlalu tinggi bisa menjadi indikator kurang efisiennya sebuah bank, terutama dalam hal menganalisis risiko kredit calon nasabah (credit scoring).
Baca Juga: Kredit Bank Digital Tumbuh Subur pada Kuartal l 2025
“Seharusnya memang NIM tidak terlampau tinggi karena bisa membuat bunga kredit atau pinjaman tidak bisa bersaing,” ujar Nailul kepada Kontan, Selasa (10/6).
Meski demikian, Nailul memaklumi bahwa ada perbedaan segmen nasabah bank digital dengan bank konvensional. Bank digital menurutnya memang menarget segmen pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun masyarakat yang belum mendapat akses bank sehingga risiko gagal bayar lebih tinggi. Alhasil, bunga kredit yang dipatok bank pun tinggi.
“Di sisi lain, bank digital juga tidak berani memberikan bunga deposito atau tabungan terlampau tinggi karena ada aturan LPS rate,” terang Nailul.
Maka menurutnya, bank digital perlu untuk lebih efisien dan lebih ketat dalam melakukan credit scoring.
Pendapat ini juga diamini Ekonom sekaligus pengamat perbankan Universitas Bina Nusantara (Binus), Doddy Ariefianto. Efisiensi menurutnya perlu untuk mengerem NIM, misalnya dengan memilih target debitur dengan hasil credit scoring yang baik sehingga potensi kredit macet (NPL) dapat ditekan di bawah 5%.
“Mereka harus mendekati standar industri bank incumbent dengan NIM di kisaran 4,5%-7% kalau ingin tetap memiiliki posisi daya saing,” kata Doddy.
Meskipun terdapat bank yang mampu menjaga angka NPL di bawah ketentuan regulator, hal ini menurut Doddy tetap perlu dilakukan mengingat potensi risiko tinggi yang dapat terjadi di masa depan.
Direktur Utama Allo Bank, Indra Utoyo mengatakan, tingginya angka NIM Allo Bank didorong oleh pertumbuhan kredit ritel bisnis melalui penyaluran produk paylater. Sepanjang tahun 2024 saja, jumlah penyaluran pinjamannya kata Indra naik 200% secara tahunan. Hingga Juni 2025 ini, nasabah Allo Bank juga telah mencapai 12,5 juta.
“Mengingat Allo Bank terus mencatatkan pertumbuhan kredit paylater yang cukup tinggi, tentunya hal ini dapat diimbangi dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang baik agar rasio LDR tetap dapat dikelola secara prudent,” ujar Indra.
Baca Juga: Outstanding Paylater Allo Bank Mencapai Rp 7 Triliun Per April 2025
Untuk menjaga pertumbuhan NIM, Allo Bank kata Indra terus melakukan inovasi pada produk tabungan dengan biaya dana yang rendah. Selain itu, Allo Bank juga terus meningkatkan efisiensi operasional dengan mengurangi pengeluaran yang tidak produktif tanpa mengorbankan pengembangan infrastruktur berbasis teknologi informasi.
Dari hasil efisiensi tersebut, rasio BOPO Allo Bank per Maret 2025 kata Indra berada di bawah angka industri, yakni 69,4%.
Di lain pihak, SVP Digital Bank Amar David Wirawan mengatakan, Bank Amar memang memfokuskan segmen nasabahnya ke UMKM dengan penyaluran utama melalui layanan Tunaiku.
Meski segmen nasabah ini memiliki risiko yang tinggi, pihaknya mengaku selalu memperhatikan aspek kehati-hatian dalam menyalurkan kredit seperti melakukan credit scoring secara ketat dengan memanfaatkan teknologi AI, machine learning, dan big data analytics.
“Contohnya, dalam proses pemutusan kredit, kami mengintegrasikan berbagai sumber data alternatif untuk menilai profil risiko calon debitur secara lebih komprehensif, termasuk perilaku finansial dan digital. Dengan begitu, kami dapat menyalurkan kredit secara lebih selektif namun tetap inklusif,” ujar David.
Baca Juga: Laba Terus Tumbuh Hingga April, Perbankan Digital Yakin Berlanjut Sampai Juni 2025
Sementara dalam proses penagihan, lanjut David, pihaknya juga menggunakan data analitik untuk mengidentifikasi pola pembayaran nasabah, sehingga penagihan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.
Dengan mekanisme penyaluran kredit seperti ini, Bank Amar memang telah menaksir tingkat NPL yang dihasilkan, seperti dikatakan SVP MSME Bank Amar, Josua Sloane. Sebagai informasi, NPL Gross Bank Amar di kuartal l 2025 sebesar 10,89%.
Josua mengatakan, teknologi yang dimiliki Bank Amar mampu mengidentifikasi risiko gagal bayar debitur (probability of default) sejak awal debitur tersebut mulai mengajukan pinjaman.
“Jadi kalau bank lain kaget, kita tidak. Tinggal sisi pricing-nya, sisi kolektabilitasnya sudah kita antisipasi dari awal,” terang Josua.
Josua juga menambahkan, Bank Amar juga memiliki pola yang berbeda dengan bank lain dalam menjaring dana pihak ketiga. Kata dia, awalnya Bank Amar berfokus pada penyaluran kredit. Setelah memiliki basis debitur, pihaknya baru akan mengonversi pengguna itu menjadi nasabah yang menyimpan dananya di sana.
“Kita mulai dari lending dulu, baru ke DPK. Jadi memang satu sisi kita dapat kemudahan dalam artian siapapun yang mengajukan pinjaman, pasti kita convert menjadi DPK kita. Jadi memang secara user base kita bertahan dan bertumbuh terus di depan,” pungkas Josua.
Baca Juga: Penurunan BI Rate Berpeluang Hentikan Tren Koreksi NIM Perbankan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News