Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang batas akhir masih terdapat 18 bank hingga September 2022 yang belum memiliki modal inti Rp 3 triliun. Ini merupakan langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat industri perbankan tanah air.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengakui pada saat ini semua bank yang belum memenuhi modal inti sudah memiliki rencana aksi penguatan modal masing-masing. Ia pikirkan semuanya akan dapat memenuhi batas waktu akhir tahun ini.
“Apabila ada bank yg tdk dapat memenuhi komitmennya akan kita minta memilih opsi merger, downgrade status menjadi BPR, atau likuidasi sukarela,” ujar Dian kepada Kontan.co.id pada Rabu (16/11).
Berdasarkan pantauan Kontan.co.id, tersisa tiga bank yang belum memiliki rencana penguatan modal, sedangkan 15 lainnya sudah menyampaikan rencana rights issue maupun private placement.
Baca Juga: Belum Terkalahkan, Ini Bank Pemilik Aset Terbesar di Indonesia
Bank Master Prima bermodal inti Rp 227 miliar, Bank Indeks Selindo senilai Rp 2,09 triliun, dan Bank SBI Indonesia sebesar Rp 2,12 triliun. Kontan.co.id sudah mencoba menghubungi masing-masing manajemen bank untuk meminta penjelasan aksi penguatan modal. Hingga berita ini diterbitkan manajemen belum memberikan respon jawaban.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai ketiga opsi ini bisa dicermati dari berbagai macam kacamata. Dari pihak perbankan dan pemilik, ketidakmampuan memenuhi ketentuan ini akan memberikan konsekuensi bank menghilang.
“Kalau dimerger dengan bank lebih besar, nama banknya bisa hilang dan digantikan dengan nama partnernya. Kalau turun dari BPR, nasibnya hilang dari jajaran bank umum, sedangkan di likuidasi ya banknya akan bubar,” ujar Piter kepada Kontan.co.id pada Selasa (15/11).
Meskipun turun status jadi BPR, Piter menilai belum tentu bank tersebut bisa bersaingan dengan pemain BPR yang sudah ada. Karena pola bisnis antara bank umum dan BPR cukup berbeda. Bahkan, Piter melihat bank tersebut bisa saja gagal di persaingan industri .
“Dari kacamata regulator, tidak ada masalah, justru mereka ingin konsolidasi bank, sehingga jumlah bank semakin kecil dengan permodalan yang kuat. Ini yang kita butuhkan, perbankan yang kuat dan cukup merata jarak bank besar dengan bank kecil juga tidak terlalu jauh,” jelasnya.
Sedangkan dari sisi nasabah, Piter melihat tidak akan terjadi masalah ketika suatu bank harus di merger, turun status jadi BPR, maupun likuiditas. Lantaran, akan dipantau regulator dan bank memberikan waktu yang cukup bagi nasabah untuk berpindah maupun menyelesaikan urusan mereka dengan perbankan.
“Kendala susah mendapatkan suntikan modal itu datang dari pemilik bank. Umumnya, penguatan ini tidak bisa mereka lalukan sendiri, sehingga harus melakukan transaksi jual beli. Kalau kemahalan juga walau perbankan Indonesia menarik, orang yang mau beli tidak mau,” katanya.
Ia menyebut, saat terjepit oleh tenggat waktu, pemilik bank tidak bisa lagi jual mahal. Lantaran membutuhkan suntikan modal dari mitra baru.
“Kalau mau jual mahal harus dilakukan jauh-jauh hari, sekarang sudah telat, lagi butuh uang,” tukasnya.
Adapun Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan opsi dipaksa merger mungkin lebih baik daripada bank harus turun kasta. Namun, bank tersebut juga tidak ada pilihan, karena pemegang saham pengendali (PSP) tidak berkomitmen untuk melakukan penambahan modal.
“Kalau harus terpaksa turun kasta, maka kepercayaan masyarakat dan nasabah akan turun dan sulit untuk Bank tersebut tetap bertahan, karena kemungkinan nasabahnya tidak mau lagi berbanking dengan bank tersebut,” katanya kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Bank Mandiri Telah Salurkan KUR Rp 185,05 Triliun hingga Oktober
Lanjut Amin, bila semua langkah tidak memungkinkan maka harus dilikuidasi. Tapi ia tidak yakin suatu bank mau melakukan likuidasi, kecuali bank jelas sakit dan tidak memiliki masa depan atau harapan perbaikan.
“Sebenarnya aturan yg berlaku sekarang sudah bagus, hanya mungkin perlu pendampingan saja supaya bank dan atau PSP bank bisa terbantu untuk menemukan strategic partner untuk bersama sama mengembangkan bank sehingga tidak turun kasta maupun likuidasi,” tambahnya.
Berikut upaya 15 bank lainnya dalam melakukan penguatan modal. Pertama, Bank Ganesha (BGTG) dengan modal inti Rp 2,15 triliun per September 2022. Berencana melakukan rigths issue 7,5 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp 120 per saham. Sehingga, BGTG akan meraup dana sebanyak-banyaknya Rp 900 miliar.
Bank Ina Perdana (BINA) dengan modal inti Rp 2,32 triliun per September 2022. Berencana melakukan rigths issue 296,85 juta lembar saham dengan harga pelaksanaan berkisar Rp 3.600 sampai Rp 4.200. Sehingga dana yang diperoleh bisa mencapai 1,24 triliun.
Bank Capital Indonesia (BACA) dengan modal inti Rp 2,08 triliun per September 2022. Bakal melakukan private placement 19,94 miliar.
Bank Maspion (BMAS) dengan modal inti Rp1,34 triliun per September 2022. BMAS akan melakukan rigths issue 4,17 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp 410 sehingga akan mendapatkan dana segar Rp 1,71 triliun.
Bank Bisnis Internasional (BBSI) dengan modal inti Rp 2,13 triliun per September 2022. Akan melakukan rigths issue 367,47 juta saham baru dengan harga pelaksanaan Rp 2.480 per lembar saham sehingga akan meraup dana segar Rp 911,33 miliar.
Bank Aladin Indonesia (BANK) dengan modal inti Rp 2 triliun per September 2022. BANK akan menggelar private placement 1,37 miliar saham baru. Bank digital syariah ini telah mengumumkan rencana private placement 1,37 miliar saham.
Bank Neo Commerce (BBYB) dengan modal inti Rp 2,11 triliun per September 2022. BBYB berencana merilis 2,61 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp 650 per saham sehingga target dana yang hendak dicapai Rp 1,7 triliun.
Bank Victoria Internasional (BVIC) memiliki modal inti Rp 2,50 miliar per September 2022. BVIC berencana melakukan rights issue 4,95 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp 130 - Rp 155 per saham. Sehingga potensi dana yang masuk Rp 768 miliar.
Bank Oke Indonesia (DNAR) memiliki modal inti Rp 2,96 miliar per September 2022. Bank Oke telah melakukan rights issue dengan merilis 2,94 miliar saham baru dengan harga Rp 170 per lembar saham. Sehingga potensi dana yang diperoleh Rp 499,43 miliar.
Baca Juga: BRI Jadi Bank Pencetak Laba Tertinggi di Indonesia, BCA Paling Efisien
Bank India of Indonesia (BSDW) dengan modal inti Rp 2 triliun per September 2022. Bank berencana melakukan rights issue 1,38 miliar saham baru dengan harga Rp 200 per saham sehingga dana yang diraup mencapai Rp 1,39 triliun.
Bank Amar Indonesia (AMAR) dengan modal inti Rp 1,83 triliun per September 2022. AMAR berencana menerbitkan 4,56 miliar saham baru dengan harga Rp 280 per saham sehingga dana yang diincar mencapai Rp 1,28 triliun.
Bank MNC Internasional (BABP) dengan modal inti Rp 2,13 triliun per Juni 2022. BABP gelar rights issue 10,48 miliar saham.
Bank Nationalnobu (NOBU) dengan modal inti Rp 1,60 triliun per Juni 2022. NOBU akan merilis 681,81 juta lembar saham baru.
Bank Bumi Arta (BNBA) dengan modal inti Rp 2,23 triliun per September 2022. Bank Bumi Arta akan menggelar rights issue di Semester kedua 2022.
Bank Jtrust Indonesia (BCIC) dengan modal inti Rp 2,76 triliun per September 2022. Direktur Utama J Trust Bank Ritsuo Fukadai memastikan J Trust Co Ltd selaku pemegang saham pengendali berkomitmen untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum.
Sebenarnya, selain 18 bank di atas, masih terdapat bank umum yang masih memiliki modal inti Rp 3 triliun. Mereka merupakan bagian dari kelompok usaha bank (KUB) sehingga modal inti yang dipersyaratkan cukup minimal Rp 1 triliun, di antaranya Bank Raya, BCA Syariah, Bukopin Syariah, dan Bank Panin Dubai Syariah.
Lalu ada Bank Victoria Syariah yang menjadi bagian dari KUB Bank Victoria (BVIC). Namun saat ini, BVIC juga masih harus berjuang untuk mendapatkan modal inti minimum Rp 3 triliun agar tidak dipaksa merger hingga diminta melikuidasi diri bersama anggota KUB-nya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News