Reporter: Mona Tobing | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan pembentukan konsorsium asuransi lingkungan hidup. Musibah kebakaran hutan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan menjadi pertimbangan OJK mengusulkan ini.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung kerugian akibat kebakaran tersebut mencapai Rp 20 triliun. Dumoly F. Pardede, Deputi Komisioner Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK mengatakan, konsorsium asuransi lingkungan akan menanggung risiko polusi sampah, pencemaran udara dan air hingga kebakaran.
Pembentukan konsorsium asuransi ini akan dibentuk full fund insurance yang menampung dana untuk mengantisipasi maupun menanggulangi kerugian akibat kebakaran hutan. Full fund insurance akan dihimpun melalui konsorsium perusahaan asuransi. "Kami sudah pernah mengusulkan kepada pemerintah.
Respon dari pemerintah memang belum ada, namun kami akan terus usulkan ke Kementerian Keuangan karena ini waktu tepat membentuk konsorsium," ujar Dumoly. Konsorsium asuransi ini akan mengurangi kerugian yang ditanggung pemerintah.
Skemanya, perusahaan perkebunan akan membayarkan premi ke konsorsium ini. Jika terjadi peristiwa dan merugikan banyak pihak maka perusahaan asuransi membayarkan kerugiannya. Setelah semua telah dibayarkan, konsorsium bekerjasama dengan polisi mencari pelaku yang menyebabkan peristiwa tersebut.
"Jika sudah ditetapkan yang bertanggung jawab. Nanti perusahaan yang membayar premi bersama konsorsium akan menuntut pelaku," ujar Dumoly.
Namun, pelaku industri mengaku masih pikir-pikir masuk konsorsium asuransi lingkungan. Debie Wijaya, Direktur PT Asuransi Central Asia (ACA) bilang, perlu kajian mendalam membentuk konsorsium asuransi lingkungan. Dia bilang, konsorsium tidak bisa terbentuk begitu saja saat ada peristiwa.
"Harus ada statistik yang akurat menghitung risiko yang ditanggung dan berapa preminya. Memang ini wacana bagus tapi butuh waktu lama untuk kajiannya," kata dia, Rabu (14/10).
Debie mengatakan, perhitungan premi dan nilai klaim harus cermat agar perusahaan asuransi tidak merugi. Terlebih pengusaha sawit pun mengaku telah memiliki polis asuransi kerugian sendiri. Agar adil, pengusaha sawit mengusulkan agar petani sawit turut membayar premi asuransi.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pun mengusulkan, premi yang dibayarkan tidak dipukul rata. Misal, berdasar luas lahan perusahaan kebun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News