Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Devisa Indonesia No. 24 Tahun 1999 dianggap belum mampu menahan gejolak nilai tukar rupiah. Rencananya UU tersebut akan direvisi oleh DPR. “Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan sangat mengganggu sektor riil, harus segera direvisi,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Harry Azhar Azis di Media Center DPP Partai Golkar hari ini.
Harry mengatakan, saat ini merupakan momentum yang tepat melakukan revisi atas UU Lalin Devisa tersebut. “Pasar Valas kita mudah kering, orang asing seenaknya keluar-masuk, ekonomi kita yang terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Ini tidak bisa dibiarkan terus,” papar Harry.
Harry mengatakan, saat ini draft rancangan tersebut masih di tingkat Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR. Namun, belum masuk ke Komisi XI. Fraksi Golkar di DPR-RI menurutnya menjadi inisiatif untuk merevisi UU tersebut.
Dijelaskan Harry, UU Devisa saat ini memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Namun faktanya, PBI yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah seperti yang terjadi belakangan ini.
Harry memberi contoh, Thailand merupakan negara yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat. Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. “Saya kira ini bagus, supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga jadi tenang,” ujar Harry.
Memang, lanjut Harry, saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB).
Namun, PBI tersebut terbukti belum cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri. “Salah satu penyebabnya tidak ada kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period) dalam enam bulan misalnya. Sebab disitu aturannya cuma melakukan pelaporan ya kembali lagi ke luar negeri. Negara ini dapat apa?” pungkas Harry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News