Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi perbankan dipandang sebagian besar bankir sudah melewati masa penuh tantangan. Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan dalam lima tahun terakhir, industri perbankan telah berhasil melampaui dua kondisi sulit. Pertama, perbaikan rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) dan pengetatan likuiditas.
Misalnya saja, dalam dua kuartal terakhir ini pertumbuhan DPK sudah berhasil menembus angka 7% secara year on year (yoy). Walau masih kecil, pencapaian tersebut masih lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh hingga ke bawah 6%.
Baca Juga: Pasar digital payment Indonesia disasar asing, LinkAja tak merasa tersaingi
Namun, menurut kacamatanya ke depan upaya ekspansi perbankan tetap bakal sulit terutama dari sisi penyaluran kredit. Tiko, sapaan akrab Kartika menjelaskan perbankan harus menggeser arah bisnis korporasi dan mulai masuk ke sektor retail.
"Kalau tadinya perbankan banyak fokus ke komoditas. Sekarang harus bergeser ke yang sifatnya retail," terangnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (18/10).
Bukan tanpa sebab, beberapa sektor kredit korporasi besar diakuinya tengah terpapar kondisi negatif global seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Di sisi lain, pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk ini juga memandang pergeseran pola bisnis ke sektor retail dari korporasi ini juga perlu dilakukan lantaran tingginya permintaan konsumen.
Ada beberapa sektor yang dinilai potensial menurut Tiko dalam lima tahun ke depan seperti pariwisata, kesehatan, e-commerce, konsumer hingga perumahan sektor menengah ke bawah.
Baca Juga: Implementasi PSAK 71 tak ganggu ekspansi kredit
Ia mencontohkan, kini kredit pemilikan rumah (KPR) tengah mengalami permintaan yang cukup tinggi untuk ticket size di bawah Rp 1 miliar, bahkan di bawah Rp 500 juta. Serupa, kredit kendaraan bermotor (KKB) pun menunjukkan angka permintaan yang tinggi untuk mobil dengan harga di kisaran Rp 200 juta.
Bila upaya tersebut bisa berjalan mulus, maka tidak berlebihan kalau pertumbuhan kredit di tahun-tahun berikutnya bisa terus tumbuh di atas 10% secara tahunan. "Harus shifting, tidak bisa lagi mengandalkan di kredit yang besar-besar lagi. Harus kredit kecil dulu," imbuhnya.
Di samping itu semua, perbankan secara nasional juga dituntut untuk lebih aktif menggandeng perusahaan teknologi finansial (tekfin) seperti layanan kredit digital, maupun ekosistem e-commerce. Cara ini dipandang bisa menjadi langkah efisiensi perbankan untuk menjangkau segmen ultra mikro.
Baca Juga: Lima tahun ke depan, LinkAja targetkan layani 100 juta pengguna
"Ke depan, untuk bank besar yang jaringannya besar akan lebih baik, sementara untuk bank menengah dan yang kecil harus berubah menjadi digital atau menggandeng fintech," tegasnya.
Lewat kerjasama dengan perusahaan teknologi, Tiko menyebut perbankan akan lebih leluasa menggarap potensi fee based income (FBI) untuk menopang pertumbuhan laba. Ia mencontohkan di Bank Mandiri, perseroan mengaku telah berinvestasi di sejumlah fintech seperti Amartha, KoinWorks dan Crowdee.
"Karena tidak mungkin kita membuat sendiri untuk segmen ultramikro yang pinjamannya di bawah Rp 2 juta. Tapi potensinya tetap harus digali," sambungnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News