Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) mempersoalkan sejumlah klausul dalam Rancangan Undang-Undang Perbankan. Mereka merasa dianaktirikan oleh calon beleid tersebut.
Joko Suyanto, Ketua Umum Perbarindo, mengusulkan sejumlah revisi. Antara lain pasal 1 ayat 2, pasal 38 ayat 2, pasal 44 ayat (3), pasal 46 ayat 1 e, dan pasal 48 ayat 1 a. "Misalnya, soal kerjasama antara pemerintah dengan bank umum dalam menyalurkan kredit mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” ujarnya, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (4/10).
Pola kerjasama yang berjalan selama ini menyebabkan Perbarindo merasa terpinggirkan. Hanya bank umum, bank syariah dan bank daerah yang boleh menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR). Sedangkan BPR hanya menjadi penerus kredit lewat pola linkage. Ini menciptakan inefisiensi.
Perbarindo juga mempermasalahkan pasal yang melarang pemilik BPR memiliki hubungan keluarga sampai tingkat kedua dengan anggota direksi atau komisaris. Pasal ini, kata Joko, memberatkan karena kebanyakan usaha BPR merupakan bisnis keluarga. Jadi, hubungan kekerabatan direksi dan pemilik sulit terelakkan.
Pasal lain menyebutkan, pejabat eksekutif BPR harus memiliki pengalaman mengelola operasional bank paling singkat 10 tahun. Ketentuan ini juga sulit terpenuhi karena jarang sekali bankir kawakan mau bekerja di BPR. "Idealnya, pengalaman operasional dua tahunlah," imbuh Joko.
Selain memberikan masukan, Perbarindo juga mengusulkan agar akronim dari BPR tidak lagi bank perkreditan rakyat melainkan bank perekonomian rakyat. Alasannya, fungsi dan peran BPR tidak hanya terbatas menyalurkan kredit dan menghimpun dana, tetapi juga menggerakkan ekonomi.
Per Agustus 2012, Perbarindo membukukan aset sebesar Rp 61,783 triliun, tumbuh 21% dari periode yang sama tahun lalu. Dana pihak ketiga mencapai Rp 41,436 triliun, sedangkan kredit sebesar Rp 47,347 triliun, meningkat 20%.
Selain Perbarindo, Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) juga memberikan masukan. Antara lain upaya pemerintah melindungi badan usaha milik daerah dari ekspansi bank asing. "Bank pembangunan daerah (BPD) ingin menjadi pemenang di wilayah sendiri. Caranya, batasi ekspansi bank asing ke pelosok," kata Eko Budiwiyono, Ketua Umum Asbanda.
Direktur Utama Bank DKI itu mengatakan, BPD juga perlu mendapat keleluasaan dan prioritas dalam menggarap potensi ekonomi di daerah. Ini mendorong BPD sebagai regional champion.
Sedangkan Hanawijaya, pengurus Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) berpendapat, RUU Perbankan harus lebih spesifik mengatur bisnis bank syariah. "Pasal 2 hanya menyebutkan bank umum dan BPR, tetapi tidak secara spesifik menyebutkan bank syariah," tutur dia.
Catatan saja, DPR menyiapkan RUU perbankan sejak setahun silam. Calon beleid ini akan menggantikan UU serupa yang berlaku sejak 1998. Selain sudah tua, UU lama perlu direvisi lantaran pengawasan bank kini berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peran dan tugas BI di UU perbankan perlu direvisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News