Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis perusahaan asuransi jiwa lesu di paruh pertama 2019. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat industri asuransi jiwa menghimpun premi sebesar Rp 85,65 triliun. Nilai ini turun 10,29% yoy dari Juni 2018 sebesar Rp 95,47 triliun
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyebut penurunan ini lantaran saat ini industri asuransi di Indonesia tengah mengalami restrukturisasi. Lanjut Ia dalam fase ini, biasa bagi perusahaan asuransi untuk bertumbuh lebih lambat dibandingkan ketika kondisi normal.
Sedangkan Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank (OJK) Riswinandi menyatakan penurunan ini seiring dengan pola pikir masyarakat yang hendak mencari pendapatan dari investasi. Lantaran produk asuransi tidak akan memberikan imbal hasil yang lebih besar dibandingkan produk perbankan maupun pasar modal.
Padahal Ia menekankan imbal hasil yang diberikan perusahaan asuransi adalah perlindungan atau proteksi.
"Selain itu, OJK juga me-review produk-produk asuransi jiwa yang menjanjikan return (imbal hasil). Padahal dalam asuransi itu, premi yang dibayarkan harus dicadangkan dan diinvestasikan. Sedangkan untuk investasi tidak bisa diberikan komitmen return nantinya, mengikuti fluktuasi. Nah ini juga yang berperan besar menurunkan premi," ujar Riswinandi di Jakarta pada Rabu (24/7).
Lanjut Riswinandi, melihat produk-produk seperti ini, OJK telah meminta untuk perusahaan asuransi me-review dan meminta untuk tidak dipasarkan terlebih dahulu. Sayangnya Riswinandi tidak merinci produk asuransi jiwa apa yang Ia maksud.
Merujuk pemberitaan Kontan.co.id sebelumnya, OJK telah meminta tiga perusahaan asuransi menghentikan pemasaran produk tradisional dengan garansi imbal hasil atau kerap disebut saving plan.
OJK menilai, ketiga perusahaan tersebut tidak memiliki kapasitas dari sisi modal dan manajemen risiko yang mumpuni.
Direktur Pengawasan Asuransi OJK Ahmad Nasrullah mengatakan, OJK telah meminta tiga perusahaan asuransi jiwa tersebut untuk menghentikan penjualan produk saving plan tersebut sejak tahun lalu.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan OJK untuk meminta tiga perusahaan tersebut menghentikan pemasaran produk saving plan-nya.
Pertama karena jualan tidak pas karena seolah-olah menjanjikan barang yang pasti. Kedua, modal asuransi tidak mencukupi untuk menahan risiko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News