kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi Aturan Meterai, Biaya Operasional Bank Bisa Bertambah Miliaran


Sabtu, 06 Juli 2019 / 13:22 WIB
Revisi Aturan Meterai, Biaya Operasional Bank Bisa Bertambah Miliaran


Reporter: Grace Olivia, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyampaikan usulan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai. Usulan tersebut mencakup tarif bea meterai yang baru, batasan pengenaan bea meterai, hingga obyek bea materai.

Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Rabu (3/7), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sejumlah usulan. Pertama, meningkatkan dan mengubah tarif bea meterai menjadi hanya satu tarif sebesar Rp 10.000 per lembar.

Tarif tersebut mempertimbangkan kondisi pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang sudah jauh meningkat dibandingkan tahun 2000 lalu saat terakhir kali tarif bea meterai dinaikkan.

“Masih ada potensi penerimaan bea meterai tanpa memberatkan masyarakat dengan menggunakan pendekatan rasio beban bea meterai terhadap pendapatan per kapita,” ujar Menkeu.

Kedua, pemerintah mengusulkan untuk menyederhanakan batasan pengenaan bea meterai.

Sebelumnya, dokumen yang menyatakan penerimaan uang dengan nominal di bawah Rp 250.000 tidak dikenakan bea meterai.

Dokumen penerimaan uang dengan nominal antara Rp 250.000 sampai Rp 1 juta dikenakan bea meterai Rp 3.000, sedangkan dokumen dengan nominal di atas Rp 1 juta dikenakan bea meterai Rp 6.000.

Usulan pemerintah yang baru, batasan tersebut disederhanakan menjadi hanya satu batasan saja dan nilainya ditingkatkan menjadi Rp 5 juta sebagai batas minimal nominal dokumen.

Jadi, dokumen dengan nilai nominal di bawah Rp 5 juta bebas dari bea meterai, sedangkan dokumen dengan nominal di atas Rp 5 juta dikenakan bea meterai tunggal Rp 10.000.

“Jadi, meski tarif diusulkan meningkat, RUU juga menegaskan keberpihakan pemerintah pada UMKM karena batasan nilai nominal dokumen dinaikkan (menjadi Rp 5 juta),” tutur Sri Mulyani.

Ketiga, pemerintah juga mengusulkan agar dokumen yang menjadi obyek bea meterai tidak hanya terbatas pada dokumen kertas. Pasalnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi, kebiasaan masyarakat bertransaksi semakin banyak menggunakan jaringan internet dan dokumen digital.

“Banyak dokumen yang diproduksi dalam bentuk digital dan belum dapat saat ini dikenakan bea meterai. Dalam RUU diusulkan perluasan definisi dokumen, menjadi termasuk dokumen digital selain kertas,” lanjutnya.

Ini sejalan dengan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur transaksi bersifat elektronik, termasuk pengaturan dokumen dan tanda tangan elektronik.

Keempat, pemerintah mengusulkan untuk mempertegas pihak yang terutang bea meterai yang dirinci berdasarkan jenis dokumen. Usulannya, pemungut bea meterai ditetapkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelunasan bea meterai.

“Jadi sekarang pihak yang menerbitkan dokumenlah yang harus melunasi bea meterai,” kata Sri Mulyani.

Hal ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi administrasi perpajakan maupun masyarakat atas pemenuhan kewajiban bea meterai untuk setiap jenis dokumen yang menjadi objek bea meterai.

Lalu, bagaimanakah nantinya nasib meterai lama yang telah tercetak?

Agung S. Rahardjo, VP Jaringan & Konsfila PT Pos Indonesia (Persero) berusaha menerangkan, pertama Pos Indonesia adalah satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan tugas untuk menjual, mengelola, dan melaporkan penjualan meterai copure Rp 6.000 dan Rp 3.000 tersebut.

Persediaan materai tahun ini telah ditandatangani sesuai kerjasama pemasokan materai sejak Februari tahun ini.

"Adapun info yang disampaikan ibu Menkeu berkaitan dengan rencana penyesuaian harga meterai menjadi Rp 10.000, dapat disampaikan bahwa pada prinsipnya PT Pos Indonesia akan melaksanakan penugasan dari Menkeu cq Direktorat Jendral Pajak," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (4/7).

Penugasan tersebut, lebih lanjut ia menerangkan, menunggu Undang-Undang (UU) tentang Bea Meterai yang baru.

Jika sudah disahkan oleh pemerintah, maka PT Pos Indonesia akan menunggu perintah dari Dirjen Pajak tentang kapan berlakunya meterai baru itu dan ketentuan-ketentuan lainnya menyangkut meterai tempel baru.

"Pada proses normal, biasanya Dirjen Pajak akan membuat kebijakan dan batasan-batasan waktu jual meterai tempel lama yang ada di PT Pos Indonesia," urai Agung.

Pada waktunya, jika UU sudah berlaku dan peraturan di bawah UU mulai diberlakukan, sesuai instruksi dan hasil koordinasi antara Dirjen Pajak dengan PT Pos Indonesia, PT Pos akan menghentikan penjualan materai tempel lama.

Setelah itu PT Pos akan mengganti meterai lama tersebut dengan meterai tempel yg baru dan menarik semua meterai tempel lama dari seluruh Kantor Pos ke Gudang Besar Meterai di Kantor Pusat Bandung.

"Intinya adalah Pos Indonesia dalam posisi menunggu penugasan dari Pemerintah cq Dirjen Pajak sampai dengan diberlakukannya UU Bea Meterai yang baru," kata Agung.

Beleid ini segera mendapatkan banyak respon dari pihak industri. Salah satunya industri perbankan yang memang paling banyak menggunakan meterai sebagai pengabsahan surat maupun dokumen yang berkaitan dengan layanan keuangan.

Sejumlah bankir yang dihubungi Kontan.co.id menyebut akan mematuhi seluruh aturan yang berlaku.

Kendati demikian, pihak bank tak menampik bahwa akan ada penambahan beban dari sisi operasional perbankan.

Apalagi ada pula usulan yang mengatakan bea meterai untuk keperluan kartu kredit bakal dibebankan ke pihak perbankan dari sebelumnya oleh nasabah.

Dalam praktiknya setiap transaksi ritel (kartu kredit) dengan nilai di atas Rp 250.000 hingga Rp 1 juta nasabah akan dikenai biaya meterai sebesar Rp 3.000. Sedangkan untuk transaksi di atas Rp 1 juta, biaya meterainya yakni Rp 6.000.

Biaya sejenis ini kerap diabaikan oleh pengguna kartu, ketika membayar penuh (full payment) tagihan kartu kredit. Selain itu, pada dasarnya seluruh transaksi atau layanan keuangan bank seperti cek, bilyet, giro memang diharuskan menggunakan meterai sebesar Rp 3.000.

Kepala Divisi Kartu Kredit PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Okki Rushartomo mengatakan saat ini pihaknya lebih memilih menunggu hasil keputusan. "Saat ini kami mengikuti undang-undang yang berlaku," katanya, Jumat (5/7).

Memang, dalam peraturan yang berlaku saat ini pengenaan bea meterai terhutang melekat pada pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan hal lain.

Okki menambahkan, bila nantinya bea tersebut diubah menjadi beban bank, praktis akan menambah biaya operasional. Sebab, jumlah meterai yang harus digunakan bank dalam setiap transaksi memang lumayan besar.

Menurut hitung-hitungan kasar Okki, setidaknya ada penggunaan meterai sebesar Rp 5 miliar hingga Rp 6 miliar per bulan di BNI untuk seluruh tagihan BNI.

"Namun, dalam usulannya (pengenaan bea meterai) hanya dikenakan untuk Rp 5 juta ke atas," katanya. Bank berlogo 46 ini juga belum berani berkomentar lebih jauh, sebab pihaknya masih mengkaji hal tersebut.

Di sisi lain, Direktur Kepatuhan PT Bank Mayapada Internasional Tbk Rudy Mulyono secara singkat mengatakan tentunya kenaikan bea meterai dan pengenaan tanggungan ke bank dipastikan akan menambah biaya operasional bank.

Kendati demikian, pihaknya menolak untuk berkomentar lebih lanjut terkait hal tersebut.

Sekadar tambahan informasi, merujuk pemberitaan yang dimuat Harian KONTAN (5/7), penerapan meterai satu harga sebesar Rp 10.000 ini pemerintah bisa meraup penerimaan negara sebesar Rp 8.46 triliun.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyatakan sejak tahun 2000-2017, pemasukan dari bea meterai tumbuh 3,6 kali, yakni dari Rp 1,4 triliun di tahun 2001 menjadi Rp 5,08 triliun di tahun 2017.

Selama ini peredaran meterai tarif Rp 6.000 paling dominan. Kemkeu mencatat, volume peredaran meterai tahun 2017 mencapai 846.666.667 lembar.

Target penerimaan bea meterai ini masuk dalam pendapatan pajak lainnya. Tahun ini target pendapatan lainnya mencapai Rp 8,62 triliun naik 13,4% dari 2018 yang sebesar Rp 7,60 triliun.

Pemerintah berharap, peningkatan transaksi sektor jasa keuangan turut meningkatkan penggunaan bea meterai tahun ini.

Selain mengubah tarif, pemerintah ingin memperluas objek bea meterai tidak terbatas dokumen kertas, melainkan juga dokumen digital.

Maklum, masyarakat semakin akrab bertransaksi menggunakan jaringan internet dan dokumen digital. Oleh karena itu, dokumen digital menjadi objek baru penerapan meterai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×