kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sebanyak 126 pinjol ilegal terjaring, berikut modus baru yang perlu diwaspadai


Senin, 28 September 2020 / 18:40 WIB
Sebanyak 126 pinjol ilegal terjaring, berikut modus baru yang perlu diwaspadai
ILUSTRASI. Satgas Waspada Investasi menemukan 126 fintech peer to peer (P2P) lending ilegal hingga September 2020.


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satgas Waspada Investasi menemukan 126 fintech peer to peer (P2P) lending ilegal hingga September 2020. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing menyatakan umumnya fintech ilegal memiliki memiliki beberapa macam modus.

“Beberapa modus baru yang digunakan saat ini mengaku memiliki izin dari instansi terkait atau mencantumkan logo instansi terkait. Pencatutan nama penyelenggara fintech P2P lending, perusahaan pembiayaan, perbankan yang terdaftar atau berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan badan usaha lain yang ada di bawah pengawasan instansi lain,” ujar Tongam kepada Kontan.co.id pada Senin (28/9).

Juga ada modus dengan memberikan pinjaman kepada pihak yang tidak meminjam. Hal ini terjadi lantaran, pengguna telah mengunduh aplikasi fintech ilegal dan mengisi data berupa nama, nomor rekening, dan sebagainya. "Ternyata tetap dikirim uang dari aplikasi tersebut. Yang bersangkutan dikenakan bunga, biaya administrasi, dan/atau denda. Data yang bersangkutan juga sudah diambil sejak aplikasi diunduh," papar Tongam.

Baca Juga: Pengaduan investasi bodong berkurang di masa pandemi

Selain itu, modus lain masih juga bermunculan, mulai tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Memiliki bunga pinjaman yang tidak jelas. Begitupun dengan alamat peminjaman tidak jelas dan berganti nama.

“Media yang digunakan. Pelaku fintech ilegal tidak hanya menggunakan Google Play Store untuk menawarkan aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS, media sosial, atau dicantumkan dalam situs milik pelaku. Juga menyebar data pribadi peminjam,” tambah Tongam.

Dia menambahkan, fintech nakal juga menerapkan cara penagihan yang tidak sesuai aturan. Tagihan juga dilakukan kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan. Juga menggunakan fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual. Juga penagihan sebelum batas waktu.

Baca Juga: Waspada! Ini daftar 50 usaha gadai swasta ilegal

Dia belum bisa memastikan pelaku fintech ilegal merupakan pihak yang sama atau bukan. Namun Tongam menduga pelakunya adalah oknum yang sama atau berkaitan.

"Kami juga belum memperoleh informasi lokasi pasti dari oknum-oknum. Diharapkan melalui proses penegakan hukum, lokasi oknum dapat diperoleh penegak hukum seperti kasus fintech yang sudah ditangani oleh Bareskrim Polri dan Polres Metro Jakarta Utara," tutur Tongam.

Oleh sebab itu, dia berharap partisipasi masyarakat untuk melaporkan fintech ilegal kepada penegak hukum. Semua temuan Satgas Waspada Investasi ini identitasnya sudah diserahkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk diblokir aksesnya di laman internet dan di aplikasi jaringan seluler.

Satgas juga sudah menyampaikan laporan informasi identitas fintech lending ilegal ini kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum. Adapun total fintech ilegal yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi untuk ditutup sejak tahun 2018 hingga September 2020 mencapai 2.840 entitas. 

Baca Juga: Memburu cuan sekaligus membantu UKM lewat equity crowdfunding

Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan di era digital, tawaran pinjaman online melalui SMS semakin marak, apalagi di saat pandemi COVID-19 saat ini. Dia memastikan tawaran lewat SMS ini adalah dari pelaku fintech ilegal alias tidak terdaftar di OJK. Jenis tawarannya dengan iming-iming yang menggiurkan dan akhirnya akan merugikan masyarakat.

Adrian mengatakan, pelaku fintech ilegal mengincar masyarakat yang saat ini kesulitan ekonomi dan membutuhkan uang akibat pandemi untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumtif. "Padahal pinjaman fintech ilegal ini sangat merugikan masyarakat karena mengenakan bunga yang tinggi, jangka waktu pinjaman pendek dan mereka selalu meminta untuk mengakses semua data kontak di handphone. Ini sangat berbahaya, karena data ini bisa disebarkan dan digunakan untuk mengintimidasi saat penagihan. Waspada dan jangan mudah tergiur,” ucap Adrian.

Adrian menjelaskan fintech P2P lending yang sudah terdaftar di OJK dilarang untuk menawarkan produk atau promosi melalui pesan singkat SMS. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK nomor 07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Pasal 19 dalam beleid itu menyebut Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi yang bersifat personal (email, short message system (SMS), dan voicemail) tanpa persetujuan konsumen.

Baca Juga: Waduh, kredit bermasalah fintech P2P lending naik jadi 7,99% per Juli 2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×