Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan I-2015 di level 4,71% diantaranya sebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Industri perbankan turut terkena dampak dari penurunan daya beli properti melalui kredit pemilikan rumah.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) sampai Mei ini baru menyalurkan KPR sebesar 3% atau sebesar Rp 14,7 triliun. Direktur Keuangan BRI, Haru Koesmahargyo bilang, porsi KPR BRI masih relatif kecil dibanding total outstanding pinjaman yang telah disalurkan perseroan.
Ia menambahkan, pertumbuhan KPR di bank dengan kode saham BBRI ini juga mengalami perlambatan dibanding pertumbuhan di triwulan IV-2014 yang sebesar 4,32% secara kuartalan (qtq) menjadi 2,04% di triwulan I-2015. Padahal, sepanjang tahun 2014 lalu, KPR BRI tumbuh 20,8% secara tahunan.
"Pertumbuhan KPR BRI juga sejalan dengan kondisi industri yang melambat," kata Haru kepada KONTAN, Minggu (17/5).
Secara umum, lanjut Haru, BRI masih mengharapkan pertumbuhan total kredit konsumtif termasuk KPR selama 2015 berada di level 15-17% secara tahunan. Ia optimistis target ini akan tercapai dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan membaik di semester II-2015.
Sebab, sektor konsumsi dalam negeri masih menjadi pendorong yang besar untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Diharapkan, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai sedikitnya 5% pada tahun bershio kambing kayu ini, maka kredit bisa tumbuh setidaknya di level 15%-17%.
Untuk memacu pertumbuhan KPR, BRI memiliki program bunga tetap alias fix rate selama tiga tahun pertama cicilan properti. Haru merinci, cicilan tahun pertama KPR, BRI memberikan bunga sebesar 9,5%. Tahun kedua, BRI memberikan bunga KPR sebesar 9,75% dan tahun ketiga BRI menawarkan bunga KPR di level 10%. Sedangkan untuk tahun ke-empat sampai dengan tenor KPR, BRI menawarkan bunga minimal 10,5%.
Suku bunga, kecepatan layanan serta kemudahan layanan dalam memperoleh KPR, kata Haru, terbilang bisa membantu mendorong pertumbuhan penyaluran kredit rumah. Hingga saat ini, BRI belum melirik opsi penurunan suku bunga KPR lantaran masih menghitung biaya dana alias cost of fund (CoF).
"Suku bunga KPR BRI saya kira sudah cukup kompetitif. Pertumbuhan KPR tidak hanya ditunjang oleh besarnya suku bunga, tapi juga cepat dan mudah," ucap Haru.
Lebih lanjut Haru menambahkan, relaksasi aturan besaran loan to value (LTV) yang sedang digodok oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan sangat membantu perbankan dalam hal mitigasi risiko dan juga manajemen risiko penyaluran KPR. Sebab bank bisa lebih selektif dalam penyalurannya dan turut membantu mengurangi rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) KPR.
"Pangsa pasar KPR di Indonesia masih besar. Masih ada backlog kebutuhan rumah yang harus dipenuhi salah satunya dengan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)," ungkap Haru.
Catatan saja, Bank Indonesia (BI) dalam Survei Harga Properti Residensial mencatat pertumbuhan KPR pada triwulan pertama sebesar 0,12% secara kuartalan (qtq) atau mencapai Rp 317,8 triliun. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang tercatat 2,56%.
Pelambatan tersebut dipicu oleh melambatnya pertumbuhan penjualan properti residensial. Perlambatan pertumbuhan penjualan properti residensial tercermin dari menurunnya angka pertumbuhan penyaluran kredit perbankan pada sektor properti.
Melalui survei yang dilakukan di 16 kota pada kuartal pertama 2015 tercatat, indeks harga properti berada di level 184,25, atau tumbuh 1,44% secara kuartalan atau tumbuh 6,27% secara tahunan (yoy). Angka itu masih lebih rendah jika dibandingkan pertumbuhan pada kuartal empat 2014 yang tumbuh 1,54% secara kuartalan atau 6,29% secara tahunan (yoy).
Perlambatan kinerja properti tercermin dari melambatnya pertumbuhan penjualan properti residensial pada triwulan I-2015 menjadi 26,62% secara kuartalan (qtq), dari 40,07% (qtq) pada triwulan sebelumnya. Perlambatan penjualan terutama terjadi pada rumah tipe menengah.
Perkembangan ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan KPR. Penyebab lesunya penjualan properti diantaranya adalah kenaikan harga bangunan (30,99%), upah pekerja (24,13) dan kenaikan harga bahan bakar minyak (23,67%).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News