Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menjaga sektor jasa keuangan tetap stabil dan terus berupaya mendorong upaya pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid 19 dengan senantiasa melakukan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak serta lembaga terkait.
Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK menilai bahwa berdasarkan data hingga Februari 2021, stabilitas sistem keuangan masih terjaga dan mampu mendorong proses pemulihan perekonomian yang sedang dilakukan Pemerintah.
OJK juga terus memperkuat infrastruktur pengawasan sektor jasa keuangan dengan mengeluarkan berbagai ketentuan pengawasan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi di industri jasa keuangan dan dukungan OJK terhadap pertumbuhan ekonomi nasional serta antipencucian uang dan pembiayaan terorisme.
Baca Juga: Bos OJK sebut penurunan suku bunga kredit tak menjamin bikin kredit bank bertumbuh
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan jumlah restrukturisasi kredit dan pembiayaan terus meningkat meski trennya semakin melandai sejak akhir tahun lalu.
Nilai outstanding (dikurangi nilai pelunasan) restrukturisasi kredit untuk sektor perbankan sampai dengan Januari 2021 mencapai Rp825,8 triliun untuk 6,06 juta debitur. Jumlah ini mencapai 15,32% dari total kredit perbankan.
"Jika tidak direstrukturisasi, debitur tersebut akan default dan memberikan dampak besar bagi kinerja perbankan dan akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan serta perekonomian nasional," kata Wimboh dalam keterangan resminya, Jumat (26/3).
Perbankan telah merestrukturisasi 4,37 juta debitur UMKM dengan total baki debet mencapai Rp 328 triliun, sedangkan jumlah debitur korporasi yang direstrukturisasi sebesar 1,68 juta debitur dengan baki debet sebesar Rp 497,7 triliun.
Wimboh menyatakan upaya pemulihan ekonomi akan berjalan dengan baik jika semua pihak tidak berjalan sendiri namun senantiasa melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pihak/lembaga terkait dalam mengeluarkan kebijakan.
Baca Juga: Kuartal I-2021, ekonomi Indonesia diramal belum bisa masuk ke zona positif
Menurutnya, penurunan suku bunga kredit bukan satu-satunya solusi untuk mendorong pertumbuhan kredit. Berdasarkan data OJK, tren suku bunga menurun yang terjadi di masa pandemi juga belum mampu menjadi stimulus pelaku usaha untuk menggunakan fasilitas kreditnya.
Pantauan OJK juga menunjukkan bahwa penurunan bunga kredit modal kerja dan investasi tidak mempengaruhi jumlah penyaluran kredit perbankan.
Saat ini, dibutuhkan bagaimana mengembalikan demand masyarakat. Efektivitas vaksin akan menjadi game changer bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional karena akan memberikan kepercayaan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas normal kembali.
"Sektor jasa keuangan sangat siap untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor yang memberikan dampak besar bagi penciptaan lapangan kerja dan perekonomian nasional." jelas Wimboh.
Sejak Januari 2020 suku bunga acuan BI telah mengalami penurunan sebesar 150 bps. Penurunan tersebut telah ditransmisikan oleh perbankan sehingga Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) periode yang sama turun sebesar 101 bps (dari 11,32% menjadi 10,32%), dan Suku Bunga Kredit (SBK) turun sebesar 95 bps (dari 12,99% menjadi 12,03%).
Penurunan tersebut berasal dari penurunan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) sebesar 86 bps (dari 5,61% ke 4,75%) dan penurunan overhead cost sebesar 29 bps (dari 3,18% ke 2,89%). Sementara profit margin dan premi risiko naik masing-masing 14 bps (2,53% ke 2,68%) dan 5 bps (1,66% ke 1,71%).
Hal tersebut menunjukkan masih terdapat potensi penurunan SBDK dan SBK dari penurunan profit margin. Selain itu, suku bunga dana (deposito 12 bulan) juga mengalami penurunan sebesar 122 bps dari 6,87% menjadi 5,64%.
Baca Juga: NPL KPR dipastikan bakal melandai bila ekonomi pulih
Rapat Dewan Komisioner OJK menilai, perekonomian global diperkirakan pulih lebih cepat yang terlihat dari akselerasi proses vaksinasi Covid-19 secara global dan membaiknya sektor manufaktur.
Di AS, perbaikan ekonomi diperkirakan berlangsung lebih cepat didorong oleh stimulus fiskal dan tingginya laju vaksinasi. Itu akan mendorong kenaikan yield US Treasury dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan global, terutama di pasar obligasi dan nilai tukar negara Emerging Market.
Perkembangan positif dari sisi perekonomian dan progres vaksinasi tersebut mendorong pasar saham global menguat di bulan Maret. Sampai dengan 19 Maret 2021, IHSG menguat sebesar 1,8% mtd.
Namun demikian, peningkatan volatilitas di pasar keuangan global mendorong yield obligasi domestik meningkat dan nilai tukar Rupiah melemah 1,1% mtd ke Rp14.400/dolar AS.
Pelemahan tersebut diiringi dengan outflow investor non residen sebesar Rp0,12 triliun mtd dan Rp1,01 triliun mtd (ytd pasar saham: net buy Rp0,92 triliun; ytd pasar SBN: net sell Rp1,3 triliun).
Di sektor perbankan, dukungan Pemerintah dalam bentuk PMN kepada BUMN mendorong Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh double digit sebesar 10,11% yoy di Februari 2021, terutama didorong oleh pertumbuhan giro yang signifikan sebesar 19,98% yoy.
Sementara itu, pada Februari 2021 kredit perbankan terkontraksi sebesar -2,15% yoy seiring dengan tingginya tren pelunasan kredit serta belum pulihnya permintaan sektor usaha.
Di industri keuangan non bank, piutang Perusahaan Pembiayaan terkontraksi sebesar -19,8% yoy dikarenakan belum pulihnya permintaan dari sektor rumah tangga.
Industri asuransi tercatat menghimpun pertambahan premi sebesar Rp22,8 triliun (Asuransi Jiwa: Rp15,5 triliun; Asuransi Umum dan Reasuransi: Rp7,3 triliun) dan fintech P2P Lending Februari 2021 mencatatkan outstanding pembiayaan sebesar Rp16,96 triliun atau tumbuh sebesar 17,0% yoy.
Baca Juga: Pemulihan ekonomi bisa lebih cepat berkat sinergi yang kuat
Hingga 23 Maret 2021, jumlah penawaran umum yang dilakukan di pasar modal mencapai 30 emiten, dengan total nilai penghimpunan dana mencapai Rp33,7 triliun.
Dalam pipeline saat ini terdapat 66 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran sebesar Rp25,33 triliun.
Di tengah moderasi kinerja intermediasi, profil risiko lembaga jasa keuangan pada Maret 2021 masih relatif terjaga dengan rasio NPL gross tercatat sebesar 3,21% (NPL net: 1,04%) dan Rasio NPF Perusahaan Pembiayaan 3,9%.
Risiko nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level yang rendah terlihat dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) Februari 2021 sebesar 1,62%, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20%.
Sementara itu, likuiditas berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 17 Maret 2021 terpantau pada level 160,41% dan 34,67%, di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%.
Permodalan lembaga jasa keuangan sampai saat ini terjaga pada level yang memadai. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan tercatat sebesar 24,61% serta Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 537% dan 352%, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120%.
Begitu pun gearing ratio Perusahaan Pembiayaan yang sebesar 2,04%, jauh di bawah batas maksimum 10%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News