kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Sudah Ada Aturan, OJK Disebut Harus Perkuat Pengawasan Konglomerasi Sektor Keuangan


Rabu, 30 Maret 2022 / 18:01 WIB
Sudah Ada Aturan, OJK Disebut Harus Perkuat Pengawasan Konglomerasi Sektor Keuangan
ILUSTRASI. Seorang wanita melintas di pintu masuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Senin (23/10). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/17.


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masuknya Grup Salim sebagai pemegang saham di Bank Mega membuat peta baru konglomerasi sektor keuangan. Kini, satu grup konglomerat bisa memiliki banyak bank. Begitupun sebaliknya, satu bank dimiliki banyak investor besar. 

Sebenarnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur terkait konglomerasi keuangan jauh-jauh hari. Teranyar, tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 45 Tahun 2020 tentang Konglomerasi Keuangan.

Sebelumnya sudah ada POJK Nomor 17 Tahun 2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan. Kemudian, POJK Nomor 18 Tahun 2014 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. 

Lalu POJK Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan. Itu belum termasuk aturan turunan seperti SEOJK Nomor 14 Tahun 2015 dan SEOJK Nomor 15 Tahun 2015. 

Baca Juga: OJK: Sektor Keuangan Stabil, Intermediasi dan Himpunan Dana Meningkat hingga Februari

Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan otoritas melakukan penyempurnaan terkait aturan konglomerasi keuangan. Pertama, amanat dari Pasal 5 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. 

"Dalam ketentuan ini, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan  pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan," kata Sekar, Selasa (29/3).

Keduanya, masukan dari Technical Assistance IMF dan World Bank yang menjelaskan bahwa OJK perlu melakukan peninjauan ulang terhadap definisi konglomerasi keuangan yang berlaku saat ini. Ini mempertimbangkan aspek materialitas serta pemberlakuan threshold berdasarkan kriteria tertentu.

Ketiga, jumlah konglomerasi keuangan yang ada saat ini cukup banyak dengan disparitas yang tinggi antar konglomerasi Keuangan, sehingga pelaksanaan pengawasan kurang efektif dan efisien.

Adapun poin-poin penyempurnaan aturan tersebut memuat beberapa aspek. Diantaranya, tambahan kriteria grup yang masuk kategori konglomerasi keuangan. Mereka berada pada satu grup atau kelompok karena keterikatan kepemilikan atau pengendalian. 

Baca Juga: Beri Kemudahaan Nasabahnya, Bank DKI Hadirkan Tabungan Pajak

"Total aset grup atau kelompok lebih besar atau sama dengan Rp 100 triliun. Kemudian memiliki kegiatan bisnis pada lebih dari satu jenis lembaga jasa keuangan," jelas Sekar. 

OJK dapat menetapkan suatu grup atau kelompok jasa keuangan sebagai konglomerasi keuangan di luar kriteria yang telah disebutkan. Adapun lembaga keuangan yang termasuk konglomerasi seperti bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan pembiayaan dan perusahaan efek. 

Sekar menambahkan, bahwa entitas utama konglomerasi wajib menyusun dan memiliki piagam korporasi yang ditandatangani oleh direksi entitas utama serta direksi anggota.  "Adapun isi dan cakupan piagam korporasi disesuaikan dengan karakteristik dan kompleksitas usaha konglomerasi keuangan tersebut," terangnya.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyebut, regulasi terkait konglomerasi keuangan di Indonesia cukup banyak. Justru yang perlu diperhatikan adalah implementasinya. 

"Pertama bagaimana kekuatan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. Karena dengan era seperti ini, semua sudah digitalisasi," kata Amin. 

Dengan kondisi itu, pengawasan yang hanya mengandalkan SDM dinilai kurang efektif karena jumlah pemainnya banyak dan tidak hanya berasal dari sektor perbankan. Oleh karena itu, diperlukan SDM yang kompeten dan sistem pengawasan yang mumpuni untuk menjangkau seluruh Indonesia. 

Di sisi lain, ia melihat sinergi OJK dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sudah cukup baik. Misalnya, sinergi dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

"Aturan OJK mengenai pengawasan secara integrasi pada hakikatnya sudah ada, petugasnya sudah ada, efektivitas sudah ada, sinergi antar lembaga perlu ditingkatkan. Tinggal bagaimana mereka bahu membahu untuk mewujudkannya," jelas Amin. 

Amin mencontohkan, kondisi pandemi otomatis berimbas pada bisnis konglomerasi. Guna mengantisipasi ini, KSSK perlu terlibat dalam pengawasan terintegrasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×