Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan kembali suku bunga acuan sebesar 50 bps atau 0,5% menjadi 5,25% efektif mulai bulan ini. Kenaikan suku bunga berpengaruh pada tingkat suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) perbankan.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kenaikan suku bunga acuan diperkirakan akan menaikkan suku bunga KPR hingga 1,25% di tahun 2022 dan 2,5%-3% di tahun 2023.
"Kenaikan suku bunga KPR tidak bisa dihindari, bank juga akan ikut melakukan penyesuaian karena bank memperhatikan beberapa faktor, salah satunya dari sisi bunga simpanan ada kenaikan mengikuti BI rate, kemudian akan diteruskan kepada suku bunga pinjaman untuk menjaga net interest margin tetap lebar," kata Bhima kepada kontan.co.id, Minggu (20/11).
Baca Juga: Gelar IPEX 2022 di JCC, BTN Bidik Penyaluran KPR Rp 1,5 Triliun
Kendati demikian, kata Bhima kalau ada bank yang masih menahan suku bunga KPR. Salah satu sebabnya karena likuiditasnya masih terjaga sehingga bank tidak terlalu cepat menyesuaikan suku bunga pinjaman atau deposito. Itu yang membuat dari suku bunga KPR masih bisa ditahan.
"Tapi itu pun hanya temporer, di 2023 awal bank diperkirakan akan melakukan penyesuaian juga mengikuti suku bunga acuan," tambah dia,
Selain itu, bank masih menahan suku bunga KPR karena momentum pemulihan di KPR. Sebelumnya pembelian rumah banyak terhalang oleh adanya pandemi, seperti terbatasnya tatap muka ataupun visit di luar secara fisik, melihat langsung properti, apartemen, maupun properti komersial yang ingin dibeli.
Tapi dengan pandemi yang mereda, keputusan pembelian sudah mulai dilakukan. Jadi bank memanfaatkan momentum tahun ini untuk menjaga jangan sampai pertumbuhan melambat.
Baca Juga: Suku Bunga Acuan Kembali Naik, Ini Efek ke Sektor Bank dan Properti
Walau begitu, menurut Bhima akan banyak tantangan dari suku bunga, inflasi, biaya material konstruksi, dan daya beli masyarakat. Kalau bank masih mempertahankan suku bunga KPR, ada potensi risiko non performing loan (NPL) PR bisa meningkat.
"Kenaikan suku bunga KPR bertujuan mengkompensasi risiko NPL, jadi selain dari suku bunga yang naik juga risiko NPL harus dikendalikan," tutur Bhima.
Dia menambahkan, calon pembeli rumah kemungkinan juga akan mempertimbangkan kembali rencana pembelian saat bunga naik. Ini akan memperlambat pertumbuhan KPR di 2023.
"Sepertinya debitur KPR akan menunda untuk pembelian, mengumpulkan uang terlebih dahulu sehingga angsuran cicilan bulanannya jadi lebih ringan atau memilih hunian dengan nilai properti atau nilai jaminan KPR yang jauh lebih rendah sehingga menyesuaikan dengan pendapatan yang mungkin sebagian pendapatan belum bisa mengimbangi angka inflasi," imbuh dia.
Baca Juga: CIMB Niaga Berhasil Salurkan Kredit Rp 194,7 Triliun per September 2022
Sementara itu, Ekonom INDEF Eko Listiyanto memperkirakan bahwa suku bunga KPR akan naik pada awal tahun depan. Bagi debitur dengan utang KPR sudah berjalan bisa mengadapi kenaikan jika menggunakan bunga KPR mengambang (floating).
Eko menambahkan, tingkat kenaikan KPR akan disesuaikan dengan kenaikan suku bunga BI. Menurut dia, bunga acuan masih akan naik lagi karena inflasi belum berada dalam target BI.
"Sistem bunga biasanya floating atau mengikuti suku bunga, dan kenaikan ini akan berpengaruh untuk konsumen karena suku bunga pinjam kredit akan naik semua, termasuk KPR. Konsekuensinya nasabah membayar cicilan lebih besar, umumnya nasabah yang sudah di atas 3 tahun maka bunga KPR akan floating," tutur Eko.
Baca Juga: Begini Permintaan KPR Refinancing di Perbankan Tahun Ini
Dalam mengatur keuangan di era cicilan bunga KPR yang terus naik, perencana keuangan OneShildt Consulting Risza Bambang menyarankan untuk meninjau kembali gaya hidup. Kurangi beberapa pengeluaran yang tidak perlu atau tidak wajib.
Bahkan jika itu termasuk biaya sosial seperti donasi atau sumbangan yang tidak harus diberikan. Apalagi biaya-biaya entertainment, tentu saja harus ditinjau ulang dengan dikurangi secara signifikan atau malahan dihapus.
Selain itu, jika punya dana simpanan yang menganggur maka bisa dipakai untuk mengurangi kewajiban utang pokok atau melunasi sebagian KPR. Menurut Risza, boleh saja merestrukturisasi utang KPR. Tapi hati-hati jika ini justru mengubah jenis KPR dari fixed rate jadi floating rate.
"Skenario terburuknya adalah menjual aset idle atau aset kemewahan untuk melunasi utang-utang sehingga bisa menghilangkan beban pengeluaran yang dirasakan sangat berat, atau cari pinjaman sangat lunak kepada keluarga dengan tanpa kolateral, bunga kekeluargaan dengan cicilan tetap selama waktu tertentu," tutur dia.
Baca Juga: Berapa Biaya Promosi yang Digelontorkan Bank Digital untuk Menjaring Nasabah?
Sementara itu, perencana keuangan Finansia Consulting Eko Endarto menyebut, dengan adanya kenaikan bunga KPR, cicilan nasabah akan naik dan akan turut bermasalah kepada keuangan mereka. Belum lagi kalau harga-harga barang konsumsi ikut naik.
"Kalau kenaikan bunga KPR misalnya 1%, minimal akan menambah cicilan ke nasabah 1% juga," kata Eko.
Menurut dia, karena utang (termasuk KPR) adalah kewajiban, maka naiknya kewajiban akan membuat pengeluaran dari sisi lain harus dikorbankan dengan mengurangi pengeluaran lain yang bukan prioritas. Tapi kalau ternyata sangat memberatkan, maka debitur bisa melakukan negosiasi dengan bank untuk mendapatkan keringanan.
Oleh karena itu, kata Eko, untuk nasabah yang ingin mengambil KPR tapi takut akan kenaikan bunga, bisa memilih produk KPR dari bank syariah. Karena, produk dari bank syariah tidak akan berubah untuk bunganya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News