Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Era suku bunga tinggi yang belum berakhir bakal kembali menekan kinerja perbankan. Setidaknya, hingga Semester I-2024, kinerja bank-bank besar di benua Asia bergulat dengan pendapatan bunga dan perlambatan kredit.
Beberapa bank besar Asia akan mengumumkan kinerja separuh pertama 2024-nya pada pekan depan. Di mana, prediksinya kinerja mereka tak akan gemilang.
Margin bunga bersih untuk bank-bank Hong Kong mungkin tetap tertekan suku bunga Hibor pada kuartal kedua yang belum turun. Ini dapat memengaruhi HSBC dan Standard Chartered, menurut Morgan Stanley.
Baca Juga: Bunga Deposito Menanjak, Beban Bank Membengkak
Mengutip Bloomberg (26/7), CEO HSBC, Georges Elhedery, akan menghadapi tantangan untuk meningkatkan pendapatan, karena suku bunga dan diharapkan akan meningkatkan upaya penghematan biaya.
Margin HSBC kemungkinan didukung oleh meredanya persaingan simpanan di Hong Kong dan suku bunga Hibor yang relatif stabil. Fokusnya adalah pada strategi peningkatan pendapatan potensial yang mungkin muncul pada akhir tahun 2024 di bawah kepemimpinan Georges.
Standard Chartered akan memenuhi target pendapatan bunga bersih yang lebih tinggi pada tahun 2024, berkat lingkungan suku bunga yang lebih mendukung.
Bank asal London ini diperkirakan akan memiliki margin yang mungkin stabil dibandingkan kuartal sebelumnya, dan pendapatan bunga bersih mungkin melonjak 28%.
Baca Juga: Memaknai Fenomena Swiftonomics
Stanchard juga kemungkinan bakal mengumumkan pembelian kembali saham senilai US$ 1 miliar, menurut analis di Jefferies dan Morgan Stanley.
Sementara itu, Bank-bank Singapura, Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) dan United Overseas Bank Ltd (UOB) baru akan mengalami peningkatan kredit secara keseluruhan pada semester kedua. Meskipun permintaan bisnis yang lemah dapat berlanjut selama beberapa bulan lagi.
Bank sentral Singapura mempertahankan pengaturan kebijakan moneter yang ketat, bahkan ketika mata uang lokal yang tangguh meredam tekanan harga.
Laba bersih UOB pada kuartal kedua kemungkinan tertekan oleh pertumbuhan kredit hipotek yang lebih rendah, di tengah tindakan pendinginan properti Singapura dan tekanan margin.
Tak berbeda, pertumbuhan pendapatan OCBC kemungkinan juga bakal tertahan, karena pertumbuhan pinjaman tetap rendah. Meskipun, pendapatan berbasis biaya berpotensi menguat, dipimpin oleh bisnis kekayaan yang memberikan dorongan.
Baca Juga: AMRO Memangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+3
Di Indonesia sendiri, kondisi tekanan suku bunga tinggi juga turut dirasakan oleh bank-bank besar. Ditambah, isu pemburukan kualitas kredit juga mendorong bank membentuk pencadangan yang lebih besar.
Misalnya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang merupakan bank dengan laba terbesar di tanah air yang mencapai Rp 29,7 triliun. Bank tersebut pun juga turut mengalami penurunan Net Interest Margin (NIM) bank only sebanyak 40 basis poin (bps) menjadi 6,41%.
Di sisi lain, bank yang akrab dengan segmen UMKM ini juga sedang tertekan dengan kualitas kredit di segmen tersebut. Bank tersebut harus menaikkan biaya pencadangan hingga 52,2% YoY atau mencapai Rp 21,35 triliun.
Sedikit berbeda, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masih mampu mencatatkan kenaikan NIM sebesar 10 bps menjadi 5,7% di semester I-2024. Alhasil, labanya pun naik 11,1% YoY menjadi Rp 26,9 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News