kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tak bisa optimalkan kredit, bank memarkir dana di surat berharga negara (SBN)


Jumat, 18 Desember 2020 / 06:15 WIB
Tak bisa optimalkan kredit, bank memarkir dana di surat berharga negara (SBN)


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan kredit perbankan terus mengalami kontraksi. Terbaru, Bank Indonesia mengumumkan per November 2020 kredit perbankan turun sebesar 1,39% secara year on year (yoy). Kontraksi itu melanjutkan perlambatan di bulan sebelumnya yang juga minus 0,47% yoy. 

Bank Sentral memandang bahwa rendahnya pertumbuhan kredit lebih disebabkan oleh sisi permintaan dari dunia usaha dan juga adanya persepsi risiko dari sisi penawaran perbankan.

Melihat kondisi itu, perbankan pun mau tidak mau harus mengalokasikan sebagian likuiditasnya ke instrumen investasi atau biasa disebut secondary reserve. Salah satu yang paling menjadi incaran adalah Surat Berharga Negara (SBN). Data terbaru menunjukkan total kepemilikan SBN perbankan saat ini telah menembus Rp 1.497,05 triliun per 16 Desember 2020 menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Porsinya juga terus meningkat, pada periode itu sebanyak 38,77% SBN dipegang oleh perbankan. Porsi terbesar ada di surat utang negara (SUN) dengan nilai mencapai Rp 1.185,11 triliun.

Baca Juga: Era suku bunga rendah bisa menggairahkan saham sektor properti dan perbankan

Beberapa bank yang dihubungi Kontan.co.id pun mengamini kondisi tersebut. Direktur PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Nixon Napitupulu menjelaskan pihaknya sudah memarkir sekitar Rp 44 triliun likuiditasnya ke instrumen SUN. Nilai itu menurut dia merupakan yang terbesar dalam sejarah BTN. "BTN saat ini sudah lebih dari Rp 44 triliun diparkir di obligasi, baik valas ataupun Rupiah. Kita belum (pernah) punya bonds sebesar itu," kata dia belum lama ini. 

Wajar, menurut Nixon hal itu memang menjadi alternatif seluruh industri perbankan di tengah belum menggeliatnya permintaan kredit baru. "Likuiditas sangat tebal. Mau tidak mau bank akan menaruh di secondary reserve," imbuh dia. 

Hal itu rupanya juga dilakukan oleh bank kecil. Ambil contoh PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA) yang menyebut per November 2020 total outstanding surat berharga perseroan sudah mencapai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu menjelaskan, kendati terbilang kecil faktanya nilai tersebut meningkat 215% dari posisi akhir tahun 2019 atau year to date (ytd). 

Baca Juga: Kredit perbankan kian melambat, terkontraksi 1,39% per November 2020

"Peningkatan pada surat berharga merupakan optimalisasi idle fund yang belum disalurkan ke kredit," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (17/12). Pun, walau sudah memarkir sebagian likuiditasnya ke surat berharga, Daniel mengatakan arus pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tetap masih jumbo. 

Catatan Bank Ina menunjukkan per November 2020 total DPK sudah meningkat sebesar 34% secara ytd. Tapi di sisi lain, penyaluran kredit masih sangat tipis atau baru meningkat 3% ytd saja. 

Menurut Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede, per 16 Desember 2020 kepemilikan bank pada SBN tercatat naik sekitar Rp 43,7 triliun dalam hitungan satu bulan. Realisasi itu bahkan melesat naik Rp 915,7 triliun secara ytd. 

Dia menjelaskan penempatan dana perbankan yang masih meningkat pada bulan Desember ini dipengaruhi oleh masih rendahnya permintaan kredit perbankan, terindikasi dari pertumbuhan kredit per November tercatat -1,39% yoy atau -3,01% ytd. Padahal, beberapa indikator seperti indeks keyakinan konsumen (IKK) atau PMI manufaktur dan laju impor cenderung meningkat cukup positif. 

Baca Juga: Erick Thohir: Dampak Covid-19 terhadap BUMN sangat berat

Menurut Josua, masih tingginya penempatan dana perbankan di tahun ini juga sejalan dengan tren penurunan suku bunga acuan BI yang selanjutnya mendorong penurunan yield SUN, setelah menyentuh level tertingginya pada bulan Maret yang lalu di tengah kepanikan pasar keuangan global yang memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara berkembang. 

"Tingginya penempatan dana perbankan di tahun ini juga in line dengan tren penurunan suku bunga acuan BI yang selanjutnya mendorong penurunan yield SUN, setelah menyentuh level tertingginya pada bulan Maret yang lalu di tengah kepanikan pasar keuangan global yang memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara berkembang," jelas Josua. 

Hal itu juga diperparah dengan kondisi penurunan penerimaan bunga di industri perbankan sebagai konsekuensi dari restrukturisasi kredit. "Selama permintaan kredit masih cenderung rendah, maka dengan imbal hasil SUN 10 tahun di kisaran 6% masih cenderung lebih baik dibandingkan tidak mengoptimalkan ekses likuiditas tersebut sama sekali," pungkasnya. 

Baca Juga: Kredit mulai menggeliat, LDR perbankan bakal berangsur naik lagi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×