Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan dalam situasi pandemi Covid-19 seluruh kebutuhan stimulus sektor jasa keuangan bakal terpenuhi. Salah satu stimulus yang diberikan lewat skema penyangga likuiditas yang memungkinkan bank meminjam likuiditas kepada bank jangkar. Namun, untuk bisa menggunakan skema ini, ada syarat khusus yang diberlakukan.
Asal tahu saja, untuk sektor perbankan, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyebut pihaknya sudah memberikan stimulus sejak bulan Maret 2020 berupa Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 khususnya terkait restrukturisasi kredit.
Baca Juga: Butuh uang tunai mendesak? Tarik tunai kartu kredit BCA di ATM saja cepat dan praktis
Wimboh menyoroti keringanan yang diberikan kepada sektor perbankan yang tertuang dalam aturan ini adalah penilaian kualitas untuk kredit yang direstrukturisasi untuk tetap dalam status kolektabilitas lancar. "Ini tentunya memberikan keleluasaan untuk bank, karena bank juga mendapatkan insentif untuk tidak membentuk pencadangan," katanya dalam video conference, Kamis (4/6).
OJK berharap, dengan keringanan seperti ini dari sisi neraca (balance sheet) perbankan tetap dalam level aman. Meski begitu, menurutnya risiko likuiditas akan tetap ada. Umumnya, untuk memenuhi kebutuhan dana harian perbankan bisa menggunakan fasilitas interbank call money atau pinjaman dana antar bank.
Namun, untuk berjaga-jaga Bank Indonesia (BI) pun sejatinya sudah memberikan stimulus dari sisi likuiditas. Semisal melalui pelonggaran Giro Wajib Mininum (GWM).
Bila tidak juga cukup pemerintah melalui Kementerian Keuangan sudah menyiapkan skema pinjaman likuiditas yang menggunakan dana pemerintah. Dana tersebut diparkir di bank peserta. "Dana ini ditaruh di bank yang sudah terbiasa menjadi supplier di pasar uang, jumlahnya pun sudah kami hitung," kata Wimboh.
Baca Juga: Perbaiki likuiditas di masa pandemi corona, OJK dorong lembaga non-bank untuk merger
Bank yang ditunjuk sebagai peserta atau penerima dana pemerintah ini umum disebut sebagai bank jangkar. Skema yang disebut penyangga likuiditas ini pun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Pemulihan Ekonomi Nasional No.23/2020.
Fitur skema penyangga likuiditas ini berbeda dengan pasar uang atau pinjaman antar bank yang umum dilakukan. Pembedanya yakni likuiditas akan bersumber dari dana pemerintah, dan dengan bunga yang dipastikan lebih rendah dari suku bunga pasar.
Sementara underlying alias jaminan bagi bank yang membutuhkan likuiditas yakni berupa kredit yang direstrukturisasi. Selain itu, bank-bank yang menjadi bank jangkar berhak untuk mengenakan margin (risk-adjusted return) untuk likuiditas yang disalurkan kepada bank atau perusahaan pembiayaan. "Skema ini pada dasarnya bersifat business to business (B2B)," jelasnya.
Baca Juga: Ekonom BNI menilai BI akan menahan suku bunga jika rupiah tak melemah
Sejauh ini, aturan main skema penyangga likuiditas ini masih dalam proses. Menurut Wimboh, pemerintah bersama dengan OJK sejauh ini sudah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait tata cara pemberian informasi dalam rangka penempatan dana.
Khusus untuk penyangga likuiditas ini, pemerintah yakni Kementerian Keuangan masih perlu mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Penempatan Dana. Sekaligus masih diperlukannya Nota Kesepahaman (NK) antara OJK dan BI terkait Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK).
Wimboh menegaskan, nantinya dana tersebut juga bersifat darurat. Artinya, yang diperkenankan untuk meminjam likuiditas dari bank jangkar adalah bank yang tingkat Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) di bawah 6%.
Baca Juga: Prudential sambut positif penjualan asuransi secara online
"Semua bank punya minimal PLM 6%, yang boleh menikmati skema ini adalah bank tertentu yang kondisi PLM-nya di bawah itu. Kalau masih ada surat berharga atau surat utang belum boleh," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News