Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI, anggota indeks Kompas100) berhasil mencatat laba bersih senilai Rp 16,16 triliun di semester I 2019. Nilai tersebut tumbuh 8,18% (yoy) dibandingkan raihan laba pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 14,93 triliun.
Meski menjadi bank yang meraih laba bersih tertinggi di tanah air, pertumbuhan yang dicatat perseroan sejatinya melambat jika dibandingkan pertumbuhan serupa pada tahun lalu. Dengan laba bersih senilai Rp 14,94 triliun pada Juni 2018, BRI berhasil mencetak pertumbuhan laba 11,0% di banding semester I 2017.
Baca Juga: M Cash Integrasi (MCAS) jual sekitar 10% saham di DIVA, ini tujuan penggunaan dananya
Pun jika dibandingkan kuartal 1 2019 dengan raihan laba Rp 8,19 triliun dengan pertumbuhan 10,41% (yoy). Direktur Utama BRI Suprajarto menjelaskan menyebutkan ada beberapa alasan yang membuat capaian laba perseroan melandai.
“Secara konsolidasi, pertumbuhan laba memang turun, namun kalau dilihat secara individual (bank only) masih on track. Kami terbebani atas anak perusahaan yang baru diakuisisi tahun lalu,” katanya saat paparan publik di Kantor BRI, Jakarta, Rabu (14/8).
Akhir tahun lalu, BRI memang aktif melakukan akuisisi. Tercatat ada PT Danareksa Sekuritas yang dibeli Rp 447 milair, PT Danareksa Investment Management dibeli senilai Rp 372 miliar, dan PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura senilai Rp 3,09 miliar yang telah beralih nama PT BRI Ventura Investama. Beberapa waktu lalu, BRI juga telah menyuntik modal BRI Ventura senilai Rp 800 miliar.
Baca Juga: Kejora InterVest masuk jadi investor Distribusi Voucher (DIVA)
Selain entitas anak barunya, Suprajarto juga mengaku tengah membenahi beberapa portofolio kredit di dua entitas anak bank, yaitu PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), dan PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO, anggota indeks Kompas100).
“Kami tidak mau BRI Syariah, dan BRI Agro sembunyikan NPL lagi, makanya sekarang kami juga mulai berbenah agar nanti mereka juga tidak membebani induknya,” lanjut Suprajarto.
Meski demikian, beban dari entitas anak usaha bukan satu-satunya penopang perlambatan laba perseroan. Kondisi likuiditas yang ketat sepanjang semester 1 2019 juga jadi pendorongnya. Hal ini tercermin dari beberapa rasio keuangan perseroan yang juga melorot
Nett interest margin (NIM) perseroan misalnya turun 64 bps dari 7,64% (1H/18) menjadi 7,02% (1H/19), kemudian return of asset (RoA) turun 6 bps dari 3,37% (1H/18) menjadi 3,31% (1H/19). Sedangkan return of equity (RoE) turun 31 bps dari 19,33% (1H/18) menjadi 19,02% (1H/19).
Baca Juga: CDS Indonesia akan bergerak di rentang 90-100 dalam jangka pendek
“Dampak kenaikan bunga acuan Bank Indonesia sebanyak enam kali hingga 175 bps pada 2018 memang membuat biaya bunga, dan biaya dana kami meningkat. Makanya NIM kami juga turun,” jelas Suprajarto.
Menurunnya kinerja keuangan ini juga turut mempengaruhi pendapatan bunga bersih perseroan yang tumbuh minim, baik secara konsolidasi maupun secara individual.
Secara konsolidasi pendapatan bunga bersih perseroan yang tumbuh sebesar 4,37% (yoy). Dari Rp 38,24 triliun (1H/18) menjadi Rp 39,92 triliun (1H/19). Sedangkan secara individual, pertumbuhannya sebesar 4,14% (yoy) dari Rp 36,93 triliun (1H/18) menjadi Rp 38,46 triliun (1H/19).
Baca Juga: Semester 1-2019, BRI raup laba Rp 16,16 triliun
Padahal fungsi intermediasi perseroan tumbuh cukup mumpuni, secara konsolidasi, kredit BRI tumbuh 11,76% (yoy), dari Rp 791,03 triliun (1H/18) menjadi Rp 884,11 triliun (1H/19).
Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 13,05% (yoy). Dari Rp 811,19 triliun (1H/18) menjadi Rp 917,05 triliun (1H/19). Sementara aset BRI tumbuh 11,70% (yoy) dari Rp 1.153,22 triliun (1H/18) menjadi Rp 1.288,19 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News