Reporter: Nina Dwiantika, Roy Franedya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berniat mengatur bisnis kredit tanpa agunan (KTA) yang tumbuh pesat. Regulator perbankan itu sedang melakukan diskusi internal antara Direktorat Sistem Pembayaran dan Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan.
Kepala Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI, Aribowo mengatakan, bank sentral ingin perbankan meningkatkan kehati-hatian dalam menjalankan bisnis. "Selama ini aturan kredit berdasarkan risiko, sehingga bank bisa seenaknya menginterpretasikan kebijakan BI," ujarnya, Rabu (10/8).
Ada beberapa hal yang sedang didiskusikan. Pertama, persyaratan siapa saja yang bisa mendapatkan KTA dan syarat pendapatan nasabah yang berhak mendapat KTA. "Ini termasuk jenis unsecure loan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Kalau macet bagaimana? Apalagi bunga sangat tinggi," tegas Aribowo.
Kedua, tata cara pemasaran produk dan penagihannya KTA. Selama ini BI tidak pernah mengatur siapa yang memasarkan KTA, sehingga banyak bank memakai jasa pihak ketiga.
Siapa saja yang bisa melakukan penagihan di bisnis KTA akan merujuk pada aturan alihdaya yang sedang digodok. BI berencana mendiskusikan hal ini ke industri. "Bentuknya dan kapan diluncurkan masih belum jelas," kata Aribowo. Saat ini, pencairan terbesar KTA berasal dari kartu kredit, dengan cara menaikkan plafon kartu kredit.
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Wimboh Santoso mengakui, ada wacana membuat pedoman kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit. Ini muncul akibat keresahan masyarakat terhadap bisnis KTA. "Tapi pembahasannya belum dilakukan di tingkat Rapat Dewan Gubernur BI," ujar Wimboh.
Serbuan tawaran KTA
Direktur Ritel Permata Bank, Lauren Sulistiawati mengatakan rencana BI mengatur bisnis KTA tidak akan berefek besar bagi perbankan. Pasalnya, bank sudah menerapkan syarat-syarat penghasilan nasabah sebelum mendapat KTA. "Kami menerapkan syarat pendapatan tiga kali UMP," ujarnya.
Walau marketing menawarkan KTA melalui telepon dan pesan singkat, bukan berarti calon nasabah langsung mendapat KTA. "Nasabah harus melewati prosedur bank," tambah Lauren.
Kepala Divisi Kartu Kredit Bank Central Asia (BCA), Santoso mengungkapkan, BI juga perlu mengatur cara penawaran KTA. Saat ini tawaran KTA tidak mengenal waktu, misalnya lewat SMS dan telepon saat nasabah sedang beraktivitas. "Marketing KTA jangan terlalu hard selling itu akan mengganggu orang," imbuh Santoso.
Ia mengakui, masyarakat kelas menengah memang memerlukan KTA untuk kepentingan mendasar. Ia sepakat, jika BI membatasi jumlah plafon setiap debitur, artinya KTA menjadi bagian kebutuhan konsumsi terarah. BCA memberi batas maksimal plafon KTA Rp 100 juta. Permintaan lebih dari nilai itu, akan ada kecenderungan macet.
Executive Vice President Bank Mutiara, Candra Utama mengatakan, angsuran di Mutiara 40% dari take home pay, maksimal Rp 50 juta dan pembayaran gaji harus lewat Mutiara. "Kami menawarkan KTA tidak lewat SMS atau telepon, tapi bekerjasama dengan perusahaan," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News