Reporter: Roy Franedya |
JAKARTA. Pengetatan likuiditas terus menghantui industri perbankan. Direktur Keuangan dan Strategis Bank Mandiri, Pahala Nugraha Mansury, mengatakan pengetatan akan terjadi dalam 2-3 tahun mendatang dengan asumsi kredit tumbuh 20% dan dana pihak ketiga (DPK) meningkat 15%. Laju kenaikan kredit yang lebih kencang dibandingkan DPK dapat mengerek rasio intermedasi atau loan to deposit ratio (LDR) hingga mencapai 100%. Per November 2012, LDR berada di 85%.
Dalam kondisi seperti ini, pilihan realistis adalah mengerem kredit dan berlomba-lomba memungut DPK. "Tetapi pilihan ini dapat meningkatkan biaya, karena bank akan menawarkan bunga simpanan paling menarik," ujarnya, Selasa (29/1).
Pahala menambahkan, demi mencegah likuiditas ketat, perbankan bisa mengusahakan beberapa sumber pendanaan baru. Pertama, memaksimalkan devisa hasil ekspor (DHE) dan menarik dana masyarakat Indonesia yang ditanamkan di luar negeri. Untuk menarik dana tersebut perbankan harus memiliki produk yang mampu bersaing dengan bank asing.
Kedua, wholesales funding. Bank memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan dengan menerbitkan surat utang. Dana dari bursa ini bersifat jangka panjang dan bunganya cenderung lebih murah dari DPK. Selain itu, lebih stabil ketimbang deposito dan tabungan. Pemilik deposito dapat memindahkan dana mereka sewaktu-waktu, mengikuti tawaran paling menarik. Surat utang biasanya berjangka waktu antara tiga tahun hingga lima tahun.
Ketiga, sekuritisasi aset seperti Kredit Investasi Kolektif Efek Beragunan Aset (KIK-EBA). Ini bisa menjadi sumber pendanaan jangka panjang. Namun sayang, sekuritisasi aset belum berkembang pesat. Sejauh ini, penerbitan KIK-EBA hanya Rp 1 triliun per tahun.
Menurut Pahala, pembuat kebijakan harus menciptakan terobosan agar KIK-EBA berkembang pesat dengan menyelesaikan hambatan. Saat ini ada dua hambatan, yakni regulasi dan perpajakan. "Pembeli KIK-EBA hanya investor dalam negeri, sementara hambatan perpajakan, aksi korporasi ini dikenakan pajak badan yang memberatkan," tambah Pahala.
Pengamat Perbankan, Eko Budi Supriyanto, mempunyai hitungan berbeda. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan kredit 20,32% dan DPK 17,5% per tahun, likuiditas ketat terjadi di tahun 2020. Saat itu, DPK perbankan Rp 15.292 triliun, penyaluran kredit
Rp 15.071 triliun dan LDR 98,54%. "Bank bisa mendapat DPK dengan menggeser fokus ke Indonesia Timur. Sekarang uang banyak berputar di sana, karena pertumbuhan bisnis bertambah pesat," ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono membantah terjadi masalah pendanaan. Menurutnya, ancaman pengetatan likuiditas hanya terjadi di bank devisa karena terbatasnya pasokan dollar AS. Sementara bank non-devisa masih memiliki amunisi cukup karena menggarap pasar spesifik. "Untuk menambah pasokan dana perlu dipikirkan insentif, menarik perusahaan beroperasi di Indonesia," imbuhnya. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News