kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.405.000   -9.000   -0,64%
  • USD/IDR 15.370
  • IDX 7.722   40,80   0,53%
  • KOMPAS100 1.176   5,28   0,45%
  • LQ45 950   6,41   0,68%
  • ISSI 225   0,01   0,00%
  • IDX30 481   2,75   0,57%
  • IDXHIDIV20 584   2,72   0,47%
  • IDX80 133   0,62   0,47%
  • IDXV30 138   -1,18   -0,84%
  • IDXQ30 161   0,48   0,30%

Tunggu Sinyal Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Saham Perbankan Masih Menarik


Rabu, 24 April 2024 / 05:10 WIB
Tunggu Sinyal Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Saham Perbankan Masih Menarik
ILUSTRASI. Teller menghitung uang di KEB Hana Bank, Tangerang Selatan, Selasa (2/1). Tunggu Sinyal Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Saham Perbankan Masih Menarik


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli

Media Day Mirae Asset

Sementara itu, sentimen higher for longer bakal suku bunga AS bisa melemahkan posisi rupiah. Namun Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar bakal berupaya untuk menghindari pelemahan terjadi ke Rp 16.500 per dolar AS. 

Rully menilai, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan untuk memperlebar selisih (spread) antara BI rate dan Fed Fund Rate (FFR) yang bisa meredam pelemahan nilai tukar. Sebab rupiah secara fundamental sebenarnya cukup solid, tetapi tidak mampu meredam sentimen eksternal dari Amerika.

“Saya rasa perbankan merupakan sektor defensif saat ada koreksi pasar cukup dalam. Itu karena bank memiliki risk management sangat baik dan highly regulated, sehingga akan selalu menjadi andalan saat ketidakpastian pasar,” ungkap Rully dalam kesempatan yang sama.

Baca Juga: Menakar Dampak Sinyal Penurunan Suku Bunga The Fed pada Perekonomian Global dan RI

Rully optimistis sektor perbankan masih akan menjanjikan karena pertumbuhan kredit di sektor perbankan akan tetap tumbuh tinggi, sejalan dengan proyeksi BI yang di kisaran 10 – 12%. 

Pertumbuhan DPK juga mulai membaik pada bulan di bulan Januari dan Februari, masing-masing sebesar 5,8% YoY dan 5,7% YoY, setelah tiga bulan terakhir di tahun 2023 tumbuh di bawah 4% YoY.

Rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) juga masih relatif terjaga di bawah 85%, dan tingkat kredit tidak lancar (NPL) yang masih terbilang rendah. Sehingga, masih terbuka ruang peningkatan pertumbuhan kredit perbankan.

Rully melihat bahwa kondisi tersebut merupakan hasil dari kebijakan makroprudensial pemerintah yang pro-growth. Pertumbuhan kredit pada bulan Januari 2024 tercatat cukup tinggi mencapai 11,8% YoY, tertinggi pada hampir 5 tahun terakhir.

Baca Juga: Harga Emas Dunia Tergelincir, Pasar Tunggu Sinyal Penurunan Suku Bunga dari FOMC

Sedangkan, pertumbuhan kredit pada bulan Februari 2024 sedikit lebih rendah tapi tergolong tetap tinggi sebesar 11,3% YoY.

“Kami memandang bahwa dengan kebijakan makroprudensial yang longgar dan disertai dengan likuiditas yang masih memadai, pertumbuhan kredit masih akan tetap kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, meski di tengah berbagai tantangan di sepanjang tahun 2024,” imbuhnya.

Namun demikian, Rully turut memperhitungkan adanya risiko yang harus dimitigasi ke depan agar stabilitas sektor keuangan tetap terjaga. Perbankan sepertinya memang akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit mengingat kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak COVID-19 telah berakhir per tanggal 31 Maret 2024.

Saat ini Loan at Risk (LaR) perbankan masih cukup tinggi yaitu 11,56% per Februari 2024. Sementara, Gross NPL pada periode yang sama tetap rendah yaitu 2,35%.

Baca Juga: Perkiraan Penurunan Suku Bunga The Fed Berubah, Ini Dampaknya ke Pasar Obligasi

Di samping itu, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih solid di awal tahun ini berkat sentimen pemilu, momentum ramadan dan lebaran idul fitri yang mungkin menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% pada kuartal I-2024.

Tren surplus neraca perdagangan semestinya juga membuat rupiah bisa terjaga di bawah Rp 16.000 per dolar AS. Secara kumulatif, surplus neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari sampai dengan Maret 2024 mencapai US$ 7,31 miliar.

Hanya saja, tangguhnya perekonomian AS yang salah satunya tercermin dari data tenaga kerja Non Farm Payroll (NFP) mendorong imbal hasil obligasi US Trasury tenor 2 ataupun 5 tahun, sehingga kondisi tersebut menarik dana asing keluar dari Indonesia.

Adapun Bank Indonesia (BI) mencatat data transaksi 16 – 18 April 2024, investor asing melakukan jual neto sebesar Rp 21,46 triliun. 

Rinciannya, net sell sekitar Rp 9,79 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp 8 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Sejak awal tahun hingga 18 April 2024, investor asing mencatatkan jual neto sekitar Rp 38,66 triliun di pasar SBN, beli neto sebesar Rp 15,12 triliun di pasar saham dan beli neto Rp12,90 triliun di SRBI.

Baca Juga: Wall Street Terangkat Saham Megacap Menjelang Keputusan Suku Bunga The Fed

“Risiko saat ini masih cukup tinggi seiring higher for longer. Tekanan lebih condong dipengaruhi sentimen suku bunga AS,” ucap Rully.

Menurut dia, ketidakpastian pemangkasan suku bunga acuan akan menciptakan volatilitas di pasar. Sehingga, dana asing bisa kembali mengalir masuk (inflow) diharapkan baru terjadi pada kuartal ketiga 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×