Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja emiten sektor perbankan diproyeksi masih memberikan pengembalian positif di tahun ini. Sektor tulang punggung pasar saham ini diharapkan segera pulih seiring potensi pemangkasan suku bunga acuan.
Untuk diketahui, kinerja emiten sektor perbankan terpantau mengalami penurunan di awal tahun 2024 ini. IDX Sector Financial yang mengukur kinerja sektor perbankan mencatat terkoreksi sekitar 1,93% sejak awal tahun alias year to date (ytd).
Lesunya performa emiten bank tersebut menyeret pelemahan pasar saham secara keseluruhan. Itu karena kapitalisasi pasar sektor keuangan sekitar 35% dari total kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) di kuartal I-2024.
Baca Juga: Sinyal Pelonggaran Suku Bunga The Fed Menguat, Sri Mulyani: Shock Terburuk Dilewati
CEO Star Asset Management (Star AM) Hanif Mantiq mengatakan, sektor perbankan tetap menjadi primadona di pasar modal. Hal itu karena sektor perbankan memiliki kapitalisasi pasar besar dan kinerja sektor tersebut terus menunjukkan tren positif.
Sektor perbankan telah memainkan peran penting dalam mendorong pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Ini terbukti dari BEI pada tahun 2012 meluncurkan indeks Infobank15 yang terdiri dari 15 saham perbankan terbaik berdasarkan kriteria rating, tata kelola perusahaan, serta likuiditas.
Namun kondisi pasar saat ini tengah diliputi oleh prospek suku bunga Federal Reserve alias The Fed. Hal itu karena masih adanya ketidakpastian mengenai arah suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut.
Jika di awal tahun ekspektasi pemangkasan suku bunga dilakukan tiga kali yang bisa dimulai pada Maret 2024, saat ini narasi sudah mulai bergeser menjadi pemangkasan suku bunga acuan hanya satu kali pada September 2024.
Baca Juga: Akibat Data Inflasi Terbaru, Sinyal Penurunan Suku Bunga The Fed Kian Sirna
Dari domestik, suku bunga bahkan diperkirakan naik satu kali sebesar 25 bps untuk mengendalikan rupiah yang semakin liar di atas Rp 16.000 per dolar AS.
“Kondisi pasar kita memang masih dipengaruhi suku bunga AS,” ungkap Hanif dalam acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas, Selasa (23/4).
Hanif berujar, imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun sudah menembus 7% karena sentimen suku bunga tinggi bakal bertahan lama alias Higher For Longer.
Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi sekitar 2,23% dari awal tahun (year to date) salah satunya terdampak perang antara Israel dan Iran.
Baca Juga: Sinyal Penurunan Suku Bunga The Fed Mengerek Harga Minyak Dunia, WTI ke US$76,50
Tensi perang yang memanas diperkirakan akan mengerek harga komoditas yang dikhawatirkan bakal meningkatkan inflasi. Sehingga wajar investor saat ini cenderung bersikap wait and see terhadap pasar.
Di sisi lain, Hanif menilai, tuntasnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres berpotensi membuat pasar finansial kembali bergairah. Ini karena berakhirnya sengketa pemilu dan pemilu dilaksanakan hanya satu putaran telah menghapuskan ketidakpastian di pasar.
Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto menyebutkan, kinerja sektor perbankan dipengaruhi oleh suku bunga dan nilai tukar. Secara historis, pertumbuhan kredit perbankan juga bakal mengikuti pergerakan harga komoditas.
Rully menjelaskan, kenaikan harga minyak imbas perang dapat berdampak bagi meningkatnya penjualan batubara dan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Sehingga ini akan menguatkan nilai tukar rupiah karena dua komoditas tersebut merupakan andalan bagi Indonesia.
Sementara itu, sentimen higher for longer bakal suku bunga AS bisa melemahkan posisi rupiah. Namun Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar bakal berupaya untuk menghindari pelemahan terjadi ke Rp 16.500 per dolar AS.
Rully menilai, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan untuk memperlebar selisih (spread) antara BI rate dan Fed Fund Rate (FFR) yang bisa meredam pelemahan nilai tukar. Sebab rupiah secara fundamental sebenarnya cukup solid, tetapi tidak mampu meredam sentimen eksternal dari Amerika.
“Saya rasa perbankan merupakan sektor defensif saat ada koreksi pasar cukup dalam. Itu karena bank memiliki risk management sangat baik dan highly regulated, sehingga akan selalu menjadi andalan saat ketidakpastian pasar,” ungkap Rully dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Menakar Dampak Sinyal Penurunan Suku Bunga The Fed pada Perekonomian Global dan RI
Rully optimistis sektor perbankan masih akan menjanjikan karena pertumbuhan kredit di sektor perbankan akan tetap tumbuh tinggi, sejalan dengan proyeksi BI yang di kisaran 10 – 12%.
Pertumbuhan DPK juga mulai membaik pada bulan di bulan Januari dan Februari, masing-masing sebesar 5,8% YoY dan 5,7% YoY, setelah tiga bulan terakhir di tahun 2023 tumbuh di bawah 4% YoY.
Rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) juga masih relatif terjaga di bawah 85%, dan tingkat kredit tidak lancar (NPL) yang masih terbilang rendah. Sehingga, masih terbuka ruang peningkatan pertumbuhan kredit perbankan.
Rully melihat bahwa kondisi tersebut merupakan hasil dari kebijakan makroprudensial pemerintah yang pro-growth. Pertumbuhan kredit pada bulan Januari 2024 tercatat cukup tinggi mencapai 11,8% YoY, tertinggi pada hampir 5 tahun terakhir.
Baca Juga: Harga Emas Dunia Tergelincir, Pasar Tunggu Sinyal Penurunan Suku Bunga dari FOMC
Sedangkan, pertumbuhan kredit pada bulan Februari 2024 sedikit lebih rendah tapi tergolong tetap tinggi sebesar 11,3% YoY.
“Kami memandang bahwa dengan kebijakan makroprudensial yang longgar dan disertai dengan likuiditas yang masih memadai, pertumbuhan kredit masih akan tetap kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, meski di tengah berbagai tantangan di sepanjang tahun 2024,” imbuhnya.
Namun demikian, Rully turut memperhitungkan adanya risiko yang harus dimitigasi ke depan agar stabilitas sektor keuangan tetap terjaga. Perbankan sepertinya memang akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit mengingat kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak COVID-19 telah berakhir per tanggal 31 Maret 2024.
Saat ini Loan at Risk (LaR) perbankan masih cukup tinggi yaitu 11,56% per Februari 2024. Sementara, Gross NPL pada periode yang sama tetap rendah yaitu 2,35%.
Baca Juga: Perkiraan Penurunan Suku Bunga The Fed Berubah, Ini Dampaknya ke Pasar Obligasi
Di samping itu, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih solid di awal tahun ini berkat sentimen pemilu, momentum ramadan dan lebaran idul fitri yang mungkin menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% pada kuartal I-2024.
Tren surplus neraca perdagangan semestinya juga membuat rupiah bisa terjaga di bawah Rp 16.000 per dolar AS. Secara kumulatif, surplus neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari sampai dengan Maret 2024 mencapai US$ 7,31 miliar.
Hanya saja, tangguhnya perekonomian AS yang salah satunya tercermin dari data tenaga kerja Non Farm Payroll (NFP) mendorong imbal hasil obligasi US Trasury tenor 2 ataupun 5 tahun, sehingga kondisi tersebut menarik dana asing keluar dari Indonesia.
Adapun Bank Indonesia (BI) mencatat data transaksi 16 – 18 April 2024, investor asing melakukan jual neto sebesar Rp 21,46 triliun.
Rinciannya, net sell sekitar Rp 9,79 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp 8 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sejak awal tahun hingga 18 April 2024, investor asing mencatatkan jual neto sekitar Rp 38,66 triliun di pasar SBN, beli neto sebesar Rp 15,12 triliun di pasar saham dan beli neto Rp12,90 triliun di SRBI.
Baca Juga: Wall Street Terangkat Saham Megacap Menjelang Keputusan Suku Bunga The Fed
“Risiko saat ini masih cukup tinggi seiring higher for longer. Tekanan lebih condong dipengaruhi sentimen suku bunga AS,” ucap Rully.
Menurut dia, ketidakpastian pemangkasan suku bunga acuan akan menciptakan volatilitas di pasar. Sehingga, dana asing bisa kembali mengalir masuk (inflow) diharapkan baru terjadi pada kuartal ketiga 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News