Reporter: Roy Franedya | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) sudah berlaku sejak awal tahun ini. Namun, belum semua hasil ekspor masuk ke sistem perbankan Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat, eksportir komoditas banyak yang belum mengirimkan dana mereka ke perbankan domestik.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI, Hendy Sulistiowaty mengatakan, devisa yang belum kembali kebanyakan milik eksportir agribisnis seperti kelapa sawit, karet kakao dan batubara. Hal ini karena pengiriman barang berlangsung bertahap dan tagihan belum jatuh tempo.
Devisa hasil ekspor produk otomotif dan elektronik juga banyak yang belum kembali ke negeri ini. BI menduga, penyebabnya, mekanisme transaksi menggunakan skema netting. Netting adalah transaksi jual beli bahan baku dan produk jadi antara induk usaha di suatu negara dengan anak usahanya di Indonesia. Dalam transaksi ini, yang dibayar hanya kelebihan tagihan, bukan keseluruhan utang.
Dari transaksi ini mungkin saja devisa tidak masuk karena hasil penjualan habis untuk membayar kewajiban ke induk. "Kemungkinan lain, mereka mempunyai perjanjian agar dananya tak masuk terlebih dahulu," tambah Hendy.
Sayang, ia tidak bersedia menyebutkan angka DHE komoditas yang belum kembali ke Indonesia. Ia hanya mengatakan, kesimpulan ini diperoleh setelah membandingkan data yang tertera di dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) dengan arus dana yang masuk ke bank domestik.
Tapi, dalam seminar bulan April lalu, Hendy pernah memaparkan, sebanyak 100 eksportir besar memarkir devisa mereka di luar negeri dengan nilai rata-rata transaksi US$ 2 miliar per bulan. Sebanyak 22 di antaranya pengusaha batubara, yang terikat kontrak dengan pembeli di luar negeri. Mereka harus mengirim hasil penjualan ke bank yang ditunjuk sebagai wali (trustee) karena memiliki utang yang belum lunas.
Pola transaksi seperti ini masih boleh. Asalkan, eksportir memiliki dokumen perjanjian yang mengharuskan transaksi seperti itu. Namun, devisa yang dibayarkan lewat trustee hanya sebesar kewajiban. Sisanya tetap mengalir ke bank domestik.
Tahun ini, BI masih memberikan kelonggaran bagi eksportir agar memasukkan dana ke bank devisa paling lambat Juli. Setelah itu, DHE harus masuk paling lama tiga bulan setelah penyampaian PEB.
Jika tak dipatuhi, eksportir terancam sanksi. Yakni, denda 0,5% dari DHE yang masih terparkir di luar negeri atau serendah-rendahnya Rp 10 juta hingga maksimal Rp 100 juta per transaksi.
Sanksi lain, dari Ditjen Bea Cukai berupa penolakan pemberian pelayanan bagi eksportir. Jika eksportir tak mau membayar denda, lembaga ini bisa mencabut Nomor Induk Kepabeanannya.
Sejauh ini, lebih dari 50% DHE yang tercatat di PEB Januari 2012, masuk ke sistem perbankan Indonesia. BI juga membentuk divisi baru beranggotakan 56 orang untuk mengawasi proses ini. "Sebelumnya, DHE yang dilaporkan US$ 9 miliar - US$ 11 miliar perbulan, tapi kami tidak tahu ini DHE periode kapan," kata Hendy.
Margareth Tjahjono, Head of Trade Finance and Product Management Bank Danamon mengakui, terjadi kenaikan volume transaksi trade finance. Tetapi kenaikan ini belum tentu karena kebijakan BI. Kenaikan bisa saja lantaran penerusan kontrak yang sudah ditandatangani tahun lalu dan kenaikan angka nilai ekspor Indonesia.
Ketentuan ini berlaku bagi kontrak baru yang ditandatangani tahun ini, dampaknya baru terlihat semester II tahun ini. "Tidak mungkin ketika menekan kontrak dananya langsung masuk," ujarnya.
Kebanyakan nasabah Danamon eksportir kelapa sawit, garmen, besi baja. Sedangkan importir kebanyakan bahan baku. "Kalau batubara tidak banyak, kami baru mau masuk sektor ini," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News