kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Habis outsourcing, terbitlah status pegawai kontrak


Jumat, 16 Desember 2011 / 15:15 WIB
Habis outsourcing, terbitlah status pegawai kontrak
ILUSTRASI. Pemaparan kinerja Sarana Multigriya Finansial (SMF)


Reporter: Nurul Kolbi | Editor: Havid Vebri

Dari sisi perlindungan nasabah, PBI alih daya sudah memadai. Tapi, dari sisi buruh, beleid ini tak banyak manfaat. Bank akan menyiasati larangan outsourcing pekerjaan inti dengan memperbanyak pegawai kontrak. Esensinya sama, bagaimana menekan biaya pegawai serendah mungkin, agar laba bank tetap besar.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai penyerahan tenaga kerja ke pihak lain atawa outsourcing patut mendapatkan apresiasi. Bank sentral memberikan batasan tegas, mana saja kegiatan pokok bank atau core business dan penunjang. Bank harus mengurus sendiri kegiatan yang termasuk kategori pokok. Sementara, aktivitas penunjang boleh diserahkan ke pihak lain.

BI juga menetapkan prosedur penggunaan tenaga outsourcing. Bank harus melapor dan menjelaskan mengapa mengalihkan kegiatan ke penyedia jasa. Selain itu, bank pun harus memastikan validitas dan kemampuan si rekanan. Ada sanksi menanti jika bank melanggar prosedur ini.
Adapun untuk kegiatan penagihan, akan ada aturan tambahan melalui surat edaran. BI bakal mengatur secara mendetail etika debt collector dan jenis tagihan yang boleh diserahkan ke pihak lain.

Catatan saja, lahirnya PBI ini terkait erat kasus kematian Irzen Octa, nasabah kartu kredit Citibank. Dia tewas setelah bertemu debt collector rekanan bank itu. Lalu, apa manfaat beleid baru ini? Jika sasarannya perlindungan nasabah, aturan tersebut memadai. Penerapan prinsip manajemen risiko mengakibatkan bank tak lagi sembarangan menyerahkan pekerjaannya ke pihak lain. Apabila terjadi sesuatu hal yang merugikan nasabah, tanggungjawab sepenuhnya ada di pihak bank.

Tetapi, apakah beleid ini memperbaiki sistem ketenagakerjaan di perbankan? Sepintas memang menjanjikan perbaikan. Tapi, jika mencermati lebih lanjut, aturan ini tak terlalu bermanfaat bagi pekerja. Ada celah bagi bank mempertahankan skema kerja mirip-mirip outsourcing, yakni sistem pegawai kontrak.

Bagaimana bank memanfaatkan celah itu? Menurut sumber KONTAN di kalangan bankir, bank akan menerapkan sistem kontrak untuk posisi-posisi yang selama ini dialihdayakan ke pihak lain. Dalihnya, ini bagian dari sistem rekruitmen pegawai. Jika pegawai kontrak itu berprestasi, bank akan mengangkatnya menjadi pekerja tetap. "Persoalannya, jika seluruh pekerja kontrak berprestasi, apakah bank mau mengangkat semuanya menjadi karyawan tetap?" katanya balik bertanya.

Di sinilah bank memainkan kartu. Setiap kali kontrak berakhir, bank mendepak para karyawan dengan alasan performa mereka tidak memuaskan. Kemudian bank membuka lowongan lagi mencari pegawai kontrak baru, dan begitu seterusnya. "Bank memang membayar pesangon ke pekerja kontrak, tapi ongkosnya lebih murah ketimbang mengangkat mereka sebagai pekerja tetap," katanya lagi.

Bank mencari celah ini agar biaya pegawai tetap minimal, tanpa menabrak aturan BI. Maklum, perbedaan gaji, fasilitas, dan tunjangan antara pegawai tetap dan outsourcing terpaut jauh. Selain itu, bank juga terhindar dari membayar pesangon dalam jumlah besar ketika si pegawai pensiun.
Menurut bankir syariah ini, bank bakal memakai pekerja kontrak untuk posisi seperti teller dan customer service (CS).

Maklum, kebutuhan bank terhadap teller dan CS luar biasa besar. Apalagi jika bank memiliki ribuan cabang, berapa banyak teller dan CS yang menjadi pegawai tetap? Sementara, di sisi lain, jenjang karier tidak jelas dan mereka tidak bisa lama-lama di kedua posisi itu. Bukan apa-apa, bank pasti menempatkan petugas yang muda, segar dan kinyis-kinyis di bagian front office. Nah, teller dan CS yang semakin berumur ini mau ditempatkan di mana ke depan?

Mereka tak bisa langsung pindah ke back office karena kebutuhan bank tidak banyak. Menurut Aloysius Uwiyono, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI), celah menggunakan pegawai kontrak terbuka lebar karena UU Ketenagakerjaan memungkinkan hal itu. Betul, UU memberikan pembatasan masa kontrak, tapi sanksinya ringan. Fenomena ini terjadi di semua industri.

Aloysius menjelaskan, industri boleh menggunakan pekerjaan kontrak karena beberapa alasan. Pertama, ada pekerjaan yang memang bersifat sementara dan musiman. Misalnya, sales promotion girl (SPG) pameran, atau pekerja lepas even tertentu. Tidak adil perusahaan harus menggaji mereka setiap bulan, sementara pekerjaan mereka jarang.

Kedua, ada beberapa pekerjaan yang masih dalam tahap trial and error. Karena kemungkinan gagalnya tinggi, perusahaan boleh merekrut pegawai kontrak. Ini sering terjadi di perusahaan perminyakan yang masih tahap eksplorasi, atau mencari minyak dan gas. Pemerintah membuat pengaturan ini, karena tenaga kontrak dan tetap memiliki konsekuensi berbeda, terutama soal pesangon. Perusahaan harus memberikan tunjangan hari tua bagi pegawai tetap. Pegawai kontrak tidak memperoleh keistimewaan ini.

Meski pekerja kontrak dibolehkan, UU memberikan pembatasan. Antara lain, hanya menggunakan pekerja kontrak untuk pekerjaan bersifat musiman. Maksimum kontrak hanya tiga bulan. Tapi, kata Aloysius, penegakan aturan main ini lemah, karena sanksinya ringan. Hukumannya, perjanjian kerja antara perusahaan dan pekerja berubah secara otomatis dari bersifat kontrak menjadi tetap. Artinya, setelah perjanjian berakhir, si pegawai kontrak berhak memperoleh pesangon.

Inilah yang membuat sistem pegawai kontrak sangat marak. Belakangan, industri makin terbiasa menggunakan mereka untuk pekerjaan yang bersifat rutin dan permanen. Dan, pemerintah tidak bisa bersikap lebih galak lagi karena membutuhkan pengusaha untuk menyediakan lapangan kerja.

Jadi, jika sistem pegawai kontrak di perbankan menjadi semarak, sebagai bentuk penyiasatan aturan outsourcing, itulah fakta pahit yang suka tidak suka harus diterima. BI mengaku tidak bisa berbuat banyak. "Kedudukan UU lebih tinggi. Jadi tidak bisa PBI malah bertentangan dengan UU," kata Tresnawati Ghani, Peneliti Senior BI di Direktorat Pengaturan Perbankan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×