Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai perkembangan teknologi yang begitu cepat memang bisa mempengaruhi bisnis asuransi. Makanya ketersediaan aturan yang memadai tentu menjadi hal penting.
Namun Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor mengakui regulator di belahan dunia mana pun masih meraba-raba untuk membuat model aturan yang pas untuk mengakomodir pengembangan fintech, khususnya dalam pemasaran digital insurance.
Menurutnya ada dua pola pembuatan regulasi terkait fintech yang umum dijalankan oleh wasit industri keuangan. Pertama adalah membiarkan industrinya tumbuh terlebih dahulu, kemudian dilihat hal-hal apa saja yang harus diatur.
"OJK kelihatannya cenderung pakai pola ini karena baru fintech peer to peer landing yang sudah ada aturannya," kata dia, Rabu (3/5).
Pola kedua adalah aturan dan industri berjalan beriringan. Namun pola ini disebutnya berpotensi membuat perkembangan inovasi jadi lebih terkekang.
Sementara soal ramainya pemberi layanan fintech yang berperan sebagai aggregator, ia menilai memang masih harus mencapai kata sepakat antar pihak yang terlibat.
Misalnya saja perusahaan aggregator menganggap dirinya bukan perusahaan asuransi sehingga tak perlu tunduk pada undang-undang perasuransian. "Tapi kalau ditanya kaitannya dengan industri asuransi kan tentu sangat erat. Jadi ini tantangan buat semua pihak," ungkap Julian.
Di sisi lain, keberadaan aggregator juga dinilai punya potensi untuk meningkatkan penetrasi dan akses terhadap produk dan layanan perusahaan asuransi. Makanya ia menyarankan pihak regulator untuk menelaah perkembangan yang terjadi di bisnis perusahaan aggregator sehingga bisa buat regulasi yang tepat.
Regulasi seperti itu menjadi penting untuk melindungi dua pihak. Yakni pihak konsumen dan perusahaan asuransi jika timbul masalah seperti dispute soal klaim. "Sementara dasar dari bisnis asuransi sendiri adalah kepercayaan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News