Reporter: Annisa Fadila | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai asosiasi penyelenggara fintech Peer to Peer (p2p) Lending senantiasa mendukung kebijakan pemerintah terkait restrukturisasi pinjaman online. Namun, perlu diketahui terdapat beberapa perbedaan pada fintech p2p lending dengan industri perbankan maupun industri perbankan lain.
Fintech p2p Lending berperan sebagai penyelenggara platform pinjam meminjam secara online yang mempertemukan peminjam (borrower) dan pemberi pinjaman (lender). Sementara bank bertindak langsung sebagai pemberi pinjaman.
Baca Juga: Mengenal fintech yang baru saja diakuisisi Gojek secara mahal
Ketua bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Perdede mengatakan, penyelenggara platform fintech p2p tidak berwenang untuk memberikan restrukturisasi pinjaman tanpa mendapatkan persetujuan dari pemberi pinjaman.
“Namun, penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” Jelasnya dalam konferensi pers Senin, (20/4).
Lebih lanjut ia menambahkan, dalam prosedur dan mekanisme AFPI menyerahkan kepada masing-masing penyelenggara fintech p2p. Namun, penyelenggara fintech p2p hanya dapat memfasilitasi permintaan restrukturisasi pinjaman yang kemudian diajukan kepada pihak pemberi pinjaman, dimana nantinya untuk mendapatkan persetujuan tergantung dari pihak pemberi pinjaman.
Perlu diketahui, terdapat beberapa kriteria mendasar yang diberlakukan bagi peminjam yang hendak mengajukan permintaan restrukturisasi pinjaman, hal itu seperti peminjam wajib membuktikan sebagai pelaku UMKM yang terdampak wabah corona serta tidak memiliki kemampuan dalam hal pembayaran pinjaman saat jatuh tempo.
Baca Juga: Kabar burung terkait ekspansi Gojek menjadi kenyataan
Akan tetapi, masih memiliki sumber pendapatan penghasilan di waktu mendatang serta memiliki itikad untuk menyelesaikan kewajibannya. “Perlu dicatat status peminjam sebelum tanggal 2 Maret adalah lancar, dan pengajuan permintaan restrukturisasi pinjaman harus beberapa waktu lamanya sebelum jatuh tempo pembayaran pinjaman,” Tambahnya.
Tumbur bilang, hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara restrukturisasi pinjaman yang berlaku terhadap penyelenggara fintech p2p.
Tumbur menambahkan, pinjaman melalui penyelenggara fintech p2p merupakan kesepakatan perdata antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Sehingga, perubahan ketentuan-ketentuan di dalamnya tunduk pada ketentuan dalam perjanjian pinjaman terkait serta persetujuan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman terkait.
“AFPI sebagai asosiasi penyelenggara fintech p2p senantiasa mendukung kebijakan pemerintah terkait restrukturisasi pinjaman dan menghimbau kepada anggota AFPI untuk ikut berpartisipasi secara aktif membantu dan meringankan masyarakat pengguna platfom fintech p2p lending yang merugi atas dampak wabah Covid-19,” ujarnya.
Baca Juga: Imbas corona, fintech fokus antisipasi kenaikan NPL
Sementara itu, Ketua Harian AFPI Kuseryanyah menambahkan pandemic Covid-19 disinyalir mempengaruhi sejumlah sektor. Pada industri fintech p2p, AFPI melakukan survei terhadap 130 anggota hingga April 2019.
Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 68 platform 52% nya mengaku telah mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Namun, untuk Non Performing Loan (NPL) alias kredit yang bermasalah belum terlihat.
Kuseryansyah bilang, dari hasil survey tersebut mayoritas anggota AFPI menyatakan Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB-90) tercatat masih stabil. Ia menyebutkan, hingga Februari 2020 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatta TKBH-90 yang menjadi tolak ukur industri fintech berada di angka 96,08&, atau NPL 3,92%. Menurutnya, angka tersebut masih tergolong stabil.
“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara fintech p2p. Pandemi Covid-19 juga dikhawatirkan membuat resiko kegagalan pembayaran pinjaman berpotensi meningkat, sehingga akan memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru. Hal ini tentunya sangat dipertimbangkan oleh pihak pemberi pinjaman di masing-masing penyelenggara fintech p2p,” Jelas Kusersyansyah.
Baca Juga: Bisnis Kartu Kredit Suram Ditimpa Paylater, Kini Disengat Efek Virus Corona Pula
Ia menambahkan, AFPI akan berusaha untuk menjaga perannya agar memperluas jangkauan pembiayaan bagi masyarakat Indonesia. Kuseryansyah menekankan, adapun pendapatan pada industri fintech p2p berasal dari fee atas transaksi pinjam meminjam, sementara pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman.
“Oleh karenanya, pendapatan penyelenggara finetch p2p bergantung kepada jumlah nilai penyaluran pinjaman, sedangkan terjadinya penyaluran pinjaman bergantung kepada kepercayaan pihak pemberi pinjaman kepada kinerja platform penyelenggara finetch p2p,” Ujarnya.
Asal tahu saja, hingga akhir Februari OJK mencatat penyaluran pinjaman fintech p2p lending senilai Rp.95,39 triliun atau meningkat 225,58% dari tahun lalu (YoY). Sedangkan dari sisi lender, terdapat 630.003 entitas alias naik 156,83% YoY dan Adapun jumlah borrower mencapai 22.327.795 entitas, hal itu naik 267,17% YoY.
Hingga saat ini, penyelenggara fintech p2p lending yang terdaftar di OJK per Februari 2020 tercatat 161 perusahaan yang 25 diantaranya dengan status berizin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News