Reporter: Annisa Fadila | Editor: Handoyo .
Akan tetapi, masih memiliki sumber pendapatan penghasilan di waktu mendatang serta memiliki itikad untuk menyelesaikan kewajibannya. “Perlu dicatat status peminjam sebelum tanggal 2 Maret adalah lancar, dan pengajuan permintaan restrukturisasi pinjaman harus beberapa waktu lamanya sebelum jatuh tempo pembayaran pinjaman,” Tambahnya.
Tumbur bilang, hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara restrukturisasi pinjaman yang berlaku terhadap penyelenggara fintech p2p.
Tumbur menambahkan, pinjaman melalui penyelenggara fintech p2p merupakan kesepakatan perdata antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Sehingga, perubahan ketentuan-ketentuan di dalamnya tunduk pada ketentuan dalam perjanjian pinjaman terkait serta persetujuan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman terkait.
“AFPI sebagai asosiasi penyelenggara fintech p2p senantiasa mendukung kebijakan pemerintah terkait restrukturisasi pinjaman dan menghimbau kepada anggota AFPI untuk ikut berpartisipasi secara aktif membantu dan meringankan masyarakat pengguna platfom fintech p2p lending yang merugi atas dampak wabah Covid-19,” ujarnya.
Baca Juga: Imbas corona, fintech fokus antisipasi kenaikan NPL
Sementara itu, Ketua Harian AFPI Kuseryanyah menambahkan pandemic Covid-19 disinyalir mempengaruhi sejumlah sektor. Pada industri fintech p2p, AFPI melakukan survei terhadap 130 anggota hingga April 2019.
Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 68 platform 52% nya mengaku telah mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Namun, untuk Non Performing Loan (NPL) alias kredit yang bermasalah belum terlihat.
Kuseryansyah bilang, dari hasil survey tersebut mayoritas anggota AFPI menyatakan Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB-90) tercatat masih stabil. Ia menyebutkan, hingga Februari 2020 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatta TKBH-90 yang menjadi tolak ukur industri fintech berada di angka 96,08&, atau NPL 3,92%. Menurutnya, angka tersebut masih tergolong stabil.