Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak dari pandemi Covid-19 terhadap ekonomi sudah terasa. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 yang minus 3,49%. Hal ini tentu juga berkaitan dengan seretnya penyaluran kredit perbankan selama masa pandemi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per September 2020 realisasi kredit perbankan tercatat turun hanya tumbuh 0,12% secara year on year (yoy) alias stagnan. Pada situasi seperti ini, perbankan pun harus memutar otak mengelola likuiditas.
Salah satu solusinya tak lain dengan menempatkan sebagian besar dana (likuiditas) ke dalam instrumen surat berharga. Dalam catatan OJK per 23 Oktober 2020 total surat berharga negara negara (SBN) yang dimiliki bank sudah mencapai Rp 1.348 triliun.
Baca Juga: Pemerintah akan melelang 5 seri SBSN dengan target indikatif Rp 10 triliun pada Se
Walau tidak merinci secara detail, Ketua Dewan Komisioner OJK dalam paparannya (2/11) mengatakan tren penempatan dana itu terus meningkat dan menjadikan pasar SBN terus menguat. "Penguatan pasar SBN ini didukung partisipasi sektor perbankan di pasar SBN di saat permintaan kredit belum kuat," katanya belum lama ini.
Beberapa bankir yang dihubungi Kontan.co.id, Jumat (6/11) pun sepakat, dalam mengelola likuiditas perbankan memang harus melakukan fungsi intermediasi. Lantaran kredit tengah sepi, bank pun memilih untuk memarkir sebagian dananya ke instrumen surat berharga.
Ambil contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang mencatat total dana perseroan di surat berharga hingga kuartal III 2020 sudah mencapai Rp 191,5 triliun. Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim pun menyebut angka tersebut naik sebesar 24,6% secara yoy.
Baca Juga: Hasil pengembangan investasi dana pensiun Indonesia mini, ternyata ini penyebabnya
Penempatan di instrumen surat berharga menurut Vera memang dibutuhkan bagi bank, sebagai strategi pengelolaan likuiditas ke depan. "Penempatan di surat berharga dibutuhkan sebagai strategi pengelolaan likuiditas untuk menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dengan ekspansi kredit yang sehat," tuturnya.
Perlambatan kredit memang sudah dirasakan BCA. Tercatat di kuartal III 2020 realisasi kredit BCA terkontraksi 0,6% yoy menjadi Rp 581,85 triliun. Angka itu juga turun 3,6% secara year to date (ytd) sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang belum maksimal di kala pandemi.
Seia sekata, PT Bank Panin Tbk juga terapkan strategi serupa. Tercatat per September 2020 total surat berharga yang dimiliki perseroan sudah mencapai Rp 36,72 triliun. Jumlah itu meningkat dari total periode sebelumnya sebesar Rp 18,09 triliun atau naik dua kali lipat.
Menurut Presiden Direktur Bank Panin Herwidayatmo, tentunya penempatan itu memang situasional. Sebab, sejatinya bila permintaan kredit dalam keadaan normal, bank tentunya akan memilih untuk menyalurkan kredit. Sedangkan di situasi pandemi, perbankan termasuk Bank Panin memilih untuk berhati-hati dan selektif dalam memberikan kredit.
"Mudah-mudahan situasi mulai membaik sebentar lagi, dan penyaluran kredit bisa berjalan lagi," katanya.
Sebagai gambaran saja, per September 2020 realisasi kredit Bank Panin memang mengalami kontraksi menjadi Rp 133,45 triliun dari periode setahun sebelumnya Rp 153,35 triliun atau turun 14,7% yoy.
Baca Juga: Bank Indonesia dan MAS perpanjang kerjasama keuangan bilateral US$ 10 miliar
Pria yang akrab disapa Herwid ini juga bilang, walau saat ini ekonomi masih berada dalam status resesi, pertumbuhan ekonomi di Indonesia perlahan mulai membaik. Walau pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi 3,49%, menurutnya angka itu sedikit mengalami pemulihan atau rebound dari sebelumnya yang minus 5,32% di Kuartal II. Itu artinya, tanda pemulihan ekonomi dan juga kredit mulai terlihat.
Segendang sepenarian, Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Hartati juga mencatat per September 2020 pihaknya memiliki penempatan dana di surat berharga sebesar Rp 42,6 triliun. Angka itu tumbuh 34% dari periode yang sama tahun lalu. Adapun, jenis instrumennya antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah dan obligasi korporasi.
Menurut perseroan, penempatan pada surat berharga saat ini memang menjadi alternatif. Terutama ketika penyaluran kredit belum dapat dilakukan secara optimal akibat kondisi perekonomian yang masih lesu dan permintaan terhadap kredit baru yang rendah.
Walau tidak dapat memprediksi, Hartati optimis penempatan dana itu bakalan berkurang seiring membaiknya iklim perekonomian. "Ke depannya penyaluran dana akan dapat dioptimalkan dalam bentuk penyaluran kredit," singkatnya.
Selanjutnya: Biar aman, OJK sarankan dana pensiun manfaatkan EBA sebagai instrumen investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News