Reporter: Arief Ardiansyah, Christine Novita Nababan, Anastasia Lilin Y, Fransiska Firlana | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Ibarat seorang dokter yang mendeteksi keberadaan tumor di tubuh pasien, Bank Indonesia (BI) bergerak cepat. Kali ini, otoritas perbankan tersebut melihat sinyal bahaya dalam perekonomian negara ini dari sektor properti. Lagi-lagi, ancaman itu berupa pembelian properti dengan pinjaman perbankan alias kredit pemilikan rumah (KPR).
Sambil mengumumkan kenaikan BI rate pada pekan lalu, pejabat BI memastikan kehadiran peraturan baru yang menurunkan batas pemberian kredit dari bank (loan to value/ LTV) untuk pembelian rumah, apartemen, dan rumah toko (ruko) kedua dan seterusnya.
BI melihat aturan uang muka minimal 30% atau LTV 70% yang dirilisnya tahun lalu masih belum ampuh membendung kenaikan permintaan dan harga rumah, terutama tipe 20 meter persegi (m²) sampai 70 m² dan di atas 70 m². Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menyebut, kenaikan harga dan permintaan kedua tipe rumah itu berpotensi mengerek harga rumah tipe kecil. Kenaikan harga ini membuat masyarakat kecil semakin kesulitan membeli rumah. Yang berbahaya, “Harga rumah tipe menengah berpotensi bubble,” kata Halim.
Indikasi itu berdasarkan kondisi bisnis properti di Indonesia terkini. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tak membuat nafsu pembelian rumah menyurut. Ini terpantau dari penyaluran KPR perbankan yang semakin melaju kencang.
Suka investasi properti
Tak cuma kredit, harga rumah tinggal juga mengalami kenaikan. Survei Manulife Financial yang menghasilkan Manulife Investor Sentiment Index (MISI) memaparkan, harga rumah tinggal pada kuartal I–2013 mengalami kenaikan 4,78% secara kuartalan dan 11,19% secara tahunan.
Pada Survei MISI kali ini, indeks sentimen investor Indonesia untuk berinvestasi meningkat dari 54 ke 60. Dari sisi kelas aset, sebagian besar responden di Indonesia masih menempatkan dana pada instrumen investasi berisiko rendah. Survei ini menggolongkan investasi rumah tinggal dan properti lain di dalamnya. “Properti dan dana tunai tetap menjadi instrumen investasi yang paling diminati investor,” kata Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen ndonesia, Legowo Kusumonegoro, Kamis (18/7) lalu.
Indeks investasi untuk rumah tinggal dan properti lain mengalami kenaikan. Pada survei MISI pertama yang berlangsung Desember 2012–Januari 2013, indeks untuk rumah tinggal dan properti lain masing-masing 84 dan 70. Adapun Survei MISI kedua yang berlangsung April–Mei 2013 menyatakan indeks investasi rumah tinggal dan properti lain di angka 90 dan 86.
Inilah yang mendasari sektor properti masih tumbuh dengan subur. Potensi cuan yang ditawarkan dari properti semakin menggiurkan. Klop, ini tempat yang pas bagi orang kaya untuk berbiak fulus.
Bukti lainnya terjadi di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Ada pengembang perumahan yang menawarkan 200 unit rumah mewah dengan harga premium. Ini yang bikin geleng-geleng kepala: pengembang tersebut menerima pengajuan tawaran pembelian rumah dari 9.000 orang!
Bisa jadi, pembeli yang mendapat jatah 200 rumah pertama bisa menjual rumah tersebut dalam waktu singkat dengan untung berlipat. Ini lantaran 9.000 orang tersebut memiliki ekspektasi serupa bahwa rumah tersebut bakal terus melonjak seiring waktu berjalan.
Memang, untuk pembelian rumah mewah di atas, biasanya berlangsung secara tunai. Tapi, BI mendapati fenomena menarik dalam penyaluran KPR perbankan di bulan Mei 2013.
Lebih dari satu rumah
Fenomena tersebut adalah jumlah orang dengan KPR lebih dari satu rumah ternyata cukup besar. Berdasarkan pantauan BI bulan Mei 2013, ada 35.200 debitur KPR rumah kedua dan seterusnya dengan total kredit Rp 31,8 triliun.
Perinciannya, ada 31.300 debitur memiliki dua rumah dengan kredit Rp 22,9 triliun. Sisanya, 3.884 debitur punya tiga sampai sembilan rumah senilai Rp 8,2 triliun. Bayangkan, orang membeli lebih dari tiga rumah sekaligus dengan cara berutang!
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah melihat ada ulah spekulan yang memanfaatkan KPR untuk bermain. Caranya, mereka hanya menginvestasikan fulus untuk membayar uang muka pembelian rumah dan sisanya melalui KPR. Setelah harga naik, mereka menjual rumah tersebut untuk ambil untung.
Nah, modus ini membuat kenaikan harga properti menyebar ke semua segmen properti termasuk ke kelas bawah. Masalahnya, fenomena kenaikan harga properti yang luar biasa ini tak hanya terjadi di beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya. “Coba lihat ke Surabaya dan Balikpapan. Kenaikan harga properti di sana juga tak kalah tinggi,” kata Difi.
Namun, pengamat properti Panangian Simanungkalit menilai, bila BI bermaksud mencegah spekulan, kebijakan yang ditempuh kurang tepat. Spekulasi properti di Indonesia terjadi pada pembelian properti secara tunai alias di luar sistem perbankan. “Saya cenderung melihat BI ingin lebih mengawasi perbankan,” kata Panangian.
Selain spekulasi, Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi mengatakan, ada dua faktor lain yang mendorong pertumbuhan harga, yaitu permintaan dan penawaran serta kebutuhan investasi. “Faktor permintaan dan penawaran masih yang terbesar,” katanya.
Direktur Century 21 Pertiwi Ali Hanafia melihat upaya BI cukup bagus untuk mengerem harga, tapi dia berharap kebijakan itu hanya diterapkan sementara. Menyikapi debitur KPR di atas tiga rumah, Ali berpendapat, bila memang porsi penghasilan debitur itu lebih dari 30%, berarti ada yang tidak beres dalam sistem perbankan. “Tapi, kalau tidak melanggar ketentuan, kenapa harus dibatasi?” dalihnya.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 43 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News