Reporter: Dina Farisah | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mulai menghitung asumsi ketidaksesuaian (mismatch) antara pendapatan iuran dengan manfaat yang dibayarkan. Pasalnya, mismatch tahun ini diprediksi mencapai Rp 7 triliun.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mundiharno mengatakan, mismatch disebabkan oleh penetapan besaran iuran yang di bawah hitungan aktuaria. Sebagai contoh, hitung-hitungan aktuaria untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas III adalah Rp 36.000 per bulan.
Namun setelah menimbang-nimbang, pemerintah memutuskan besaran iuran yang dibebankan kepada peserta mandiri kelas III sebesar Rp 30.000 per bulan.
Kemudian besaran tersebut kembali direvisi menjadi Rp 25.500 per bulan alias tidak naik dibanding tahun lalu. Demikian halnya iuran PBPU kelas II yang menurut hitungan aktuaria sebesar Rp 63.000 per bulan, nyatanya hanya dipungut Rp 51.000 per bulan.
"Struktur iuran ini akan memicu defisit. Potensi defisit tahun ini sebesar Rp 7 triliun," terang Mundiharno, Rabu (13/4).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menuturkan, meski potensi mismatch masih ada namun pihaknya tidak khawatir hal ini akan mengganggu likuiditas dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai gambaran, tahun lalu pemerintah yakni Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana sebesar Rp 5 triliun untuk menambal mismatch BPJS Kesehatan.
"Komitmen pemerintah selalu dibuktikan untuk menanggulangi mismatch. Tahun ini, pemerintah telah menyiapkan dana cadangan jaminan kesehatan nasional (JKN) sebesar Rp 6,8 triliun untuk menutupi mismatch," ungkap Fachmi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News