Reporter: Dea Chadiza Syafina |
JAKARTA. Pengetatan kredit properti juga berlaku untuk pasangan suami istri. Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 dan mulai berlaku efektif mulai 30 September 2013 menegaskan, suami istri diperlakukan sebagai satu debitur kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta yang disahkan notaris.
Sebelumnya, suami istri dapat mengajukan kredit properti dengan fasilitas yang berbeda-beda. Artinya jika kredit properti pertama atas nama suami kemudian istri mengajukan kredit properti kembali, maka kedua kredit tersebut mendapat fasilitas kredit pertama dengan ketentuan 70% ditanggung bank sisa 30% ditanggung nasabah.
Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacobs Saat ini dengan penyempurnaan aturan, maka suami istri dihitung sebagai satu debitur. Jika salah satunya ingin mengajukan kredit properti lagi, maka akan mendapat fasilitas kredit kedua, dengan ketentuan 60% ditanggung oleh bank, sisa 40% ditanggung oleh nasabah.
Berarti nasabah harus menanggung uang muka yang lebih besar dari fasilitas kredit pertama yang hanya sebesar 30%.
"Selama ini pada praktiknya dalam pengajuan pinjaman kredit, meski ditandatangani oleh pasangan suami istri, namun penilaian profil risikonya berbeda-beda karena dinilai masing-masing individu. Dengan aturan yang baru ini, pasangan suami istri dianggap sebagai debitur yang sama, kecuali jika keduanya memiliki perjanjian pisah harta," kata Peter di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/9).
Di sini, jika suami istri telah memiliki perjanjian pisah harta yang telah disahkan oleh notaris, maka dalam pengajuan kredit mendapat fasilitas yang berbeda-beda. Dengan begitu, jika terjadi peristiwa ingkar janji atau wan prestasi maka hal itu ditanggung oleh salah satu pihak saja. Pun sebaliknya, jika kredit macet atas nama keduanya, maka semua harus menanggung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News