Reporter: Roy Franedya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kebijakan izin berjenjang (multiple license) di perbankan bisa merugikan bank beraset kecil. Soalnya, kebijakan ini mensyaratkan bank memiliki modal besar dan efisien. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) mengimbau bank-bank kecil melakukan merger agar lebih leluasa mengembangkan bisnis.
Darmin Nasution, Gubernur BI, mengatakan aturan izin berjenjang akan mengelompokkan bank dalam empat tingkatan sesuai modal dan bisnis yang mereka jalankan. "Jika bank kecil susah menambah modal, mereka harus merger bila ingin masuk ke kelompok yang lebih tinggi, jangan mau jadi bank kecil terus. Bank bermodal besar biasanya lebih efisien" ujarnya, Jumat (19/10).
Darmin menjelaskan, salah satu tujuan izin berjenjang untuk konsolidasi perbankan sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Di negara lain konsolidasi perbankan sudah berlangsung sejak tahun 1980-an hingga 1990-an. Di Indonesia, hal itu belum berjalan sehingga pembuatan aturan perbankan sangat sulit. "Tapi sekarang kita mempunyai instrumennya," jelas Darmin.
Dalam beleid API yang terbit tahun 2004, BI memprediksi, dalam 10-15 tahun jumlah bank umum akan berkurang menjadi 35-58 bank. Komposisinya, dua-tiga bank internasional dengan modal lebih dari Rp 50 triliun, tiga-lima bank beroperasi nasional (modal Rp 10 triliun-Rp 50 triliun), sebanyak 30 - 50 bank fokus pada segmen tertentu (modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun), dan bank kegiatan usaha terbatas (BPR) bermodal di bawah Rp 100 miliar. Saat ini, ada 121 bank umum dan 1.669 BPR.
Aturan izin berjenjang juga untuk pemerataan jasa perbankan. BI akan mewajibkan bank berekspansi di daerah yang selama ini dianaktirikan. BI mencatat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara merupakan daerah dengan layanan perbankan sangat tinggi. Sementara layanan perbankan di Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Papua Barat sangat minium.
Sulit terlaksana
Eddy Guntardjo, Presiden Direktur Bank Ina Perdana, menyatakan, merger antarbank kecil sulit terjadi karena pemilik selalu berorientasi sebagai pemegang saham mayoritas. Jika dipaksakan, investor lokal malah berpotensi melepas sahamnya kepada investor asing.
Tahun 2006 BI mengeluarkan aturan mengenai kepemilikan tunggal yang di dalamnya memuat insentif merger bank. Nyatanya, hanya sedikit bank kecil yang mau merger. "Kebanyakan yang merger karena pemilik sahamnya satu pihak," ujar Eddy.
Haryono Tjahjarijadi, Presiden Direktur Bank Mayapada mengungkapkan hal yang sama. "Merger itu ibarat dua orang yang akan menikah sehingga tidak bisa dipaksakan," katanya.
Ia menambahkan, Indonesia menganut demokrasi ekonomi yang memberikan kesempatan berbisnis bagi skala kecil hingga besar. Seharusnya BI memfasilitasi hal tersebut. "Jangan sampai investor domestik tidak mampu menjadi tuan rumah di negara sendiri sebab yang memiliki modal besar mayoritas investor asing," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News