Reporter: Roy Franedya |
JAKARTA. Dalam Surat Edaran (SE) mengenai Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), Bank Indonesia (BI) memperketat penggunaan jasa penagihan utang kartu kredit. Bank hanya boleh mengerahkan tenaga debt collector untuk penagihan piutang kategori macet atau kolektibilitas lima.
Artinya, perbankan harus menggunakan penagih internal jika utang kartu kredit masih tahap kurang lancar. Dalam aturan sebelumnya, perbankan boleh menggunakan debt collector untuk penagihan kredit dengan kolektibilitas 4 dan 5.
Di aturan anyar ini, BI mengatur lebih mendetail tatacara penagihan. BI juga mewajibkan bank bertanggung jawab jika terjadi masalah dalam penagihan yang dilakukan pihak ketiga.
Direktur Departemen Humas BI, Difi Ahmad Johansyah, mengatakan BI tak bisa meniadakan penggunaan jasa debt collector di perbankan karena UU Ketenagakerjaan membolehkan hal tersebut. "Kami tak bisa melanggar UU, kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan BI," ujarnya, pekan lalu. Ketika memasukkan pasal itu, BI sudah meminta fatwa ke Kementerian Tenaga Kerja. Hasilnya, mereka mengizinkan.
Kebijakan baru ini tentu meningkatkan biaya bank, karena harus menambah karyawan di bidang penagihan. Namun, hal ini sudah diantisipasi. Caranya, bank lebih selektif memilih debitur dan lebih persuasif dalam menghadapi nasabah bermasalah. Jika kualitas kredit terjaga, bank tidak usah memiliki banyak tenaga penagihan.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) termasuk bank yang belum berencana merekrut tenaga baru penagihan. Sekretaris Perusahaan BRI, Muhammad Ali, beralasan saat ini portofolio kredit masih terbatas dan kualitasnya baik. "Kami belum berencana menambah tenaga internal collection, jumlahnya masih mencukupi," ujarnya. Tahun ini, BRI menargetkan mencapai 600.000 kartu kredit.
General Manager Kartu BNI, Dodit Probojakti, mengatakan pihaknya juga sudah mengantisipasi. Hampir seluruh tenaga collection BNI karyawan tetap. "Kami tidak bisa sembarang menggunakan jasa pihak ketiga," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News