Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan besar optimistis penyaluran kredit tahun ini akan tumbuh sesuai target yang dicanangkan meskipun saat ini dihadapkan dengan berbagai tantangan mulai kenaikan bunga acuan Bank Indonesia (BI), peningkatan giro wajib minimum (GWM), dan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bisa semakin mendorong inflasi.
Permintaan kredit diperkirakan akan semakin meningkat di tengah pandemi Covid-19 yang terkendali dan kenaikan harga komoditas. Rasio dana murah yang tinggi yang dimiliki sehingga likuiditas masih ample membuat sejumlah bank besar memastikan belum akan menaikkan bunga kredit. Dengan begitu penyaluran kredit akan tetap tumbuh baik.
Adapun untuk target-target tahun depan masih dalam proses penyusunan. PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya, optimis target kredit 8%-10% akan tercapai sampai akhir tahun. Target ini sebetulnya sudah dinaikkan target yang ditetapkan di awal tahun sebesar 6%-8% sejalan dengan kenaikan permintaan kredit yang diterima perseroan.
Vera Eve Lim, Direktur Keuangan BCA, mengatakan perseroan berharap masih akan mempertahankan suku bunga kredit yang ada saat ini hingga akhir tahun.
Baca Juga: BCA Tak Menaikkan Bunga Kredit Sampai Akhir Tahun 2022
"Kenaikan bunga BI tidak terlalu berdampak ke bisnis. Sejauh ini kita belum naikkan bunga kredit, kita harapannya bisa pertahankan yang sudah ada sampai akhir tahun. Untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) justru kami berikan promo saat ini," katanya dalam paparan publik, Rabu ( 14/9).
Meskipun tetap mendorong pertumbuhan kredit, BCA tetap akan selektif dalam memberikan kredit agar kualitas aset tetap terjaga. BCA menargetkan LAR ada di level 12%-13% tahun ini dan per Juni tercatat di 12,3% atau ada di level target.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga optimis permintaan kredit akan terus tumbuh. Itu sebabnya, bank ini tetap mempertahankan target pertumbuhan kredit 9%-11%.
"Pertumbuhan kredit itu masih akan didorong oleh segmen mikro dan ultra mikro," kata Direktur Keuangan BRI, Viviana Dyah Ayu Retno K.
Sementara Sunarso, Direktur Utama BRI, mengatakan BRI saat ini memiliki tiga kekuatan untuk terus mencatatkan pertumbuhan bisnis dalam dua tiga tahun ke depan. Pertama, perseroan memiliki sumber pertumbuhan baru lewat pembentukan holding ultra mikro. Menurutnya, holding tersebut tidak hanya menjadi sumber pertumbuhan kredit tetapi juga sumber kenaikan CASA.
Kedua, BRI memiliki kecukupan modal yang kuat ditandai dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) 25% per Juni 2022. Padahal modal yang sehat sebenarnya hanya membutuhkan CAR 17%-18%.
Dengan kelebihan modal ini, BRI masih cukup kuat untuk mendukung pertumbuhan bisnis dalam 2 tahun-3 tahun ke depan. Ketiga, likuiditas BRI masih sangat ample sejalan dengan rasio dana murah yang tinggi yakni 65,1% per Juni.
BRI menargetkan biaya overhead ada di kisaran 6%-8% dan non performing loan (NPL) 2,8%-3%. Sementara target Net Interest Margin (NIM), BRI menaikkan menjadi 7,7%-7,9% dari target awal 7,6%-7,9% karena ada perbaikan dari biaya kredit (cost of credit/CoC).
"Target biaya kredit juga kami revisi turun jadi 2,7%-2,9% dari sebelumnya 2,8%-2,9%," kata Viviana.
Sementara untuk perolehan laba bersih, BRI optimis bisa mengantongi keuntungan tidak kurang dari Rp 40 triliun tahun ini. Sepanjang semester I, perseroan sudah meraup Rp 24 triliun lebih.
Adapun Bank Mandiri optimis kredit tahun ini tumbuh 11%. Darmawan Junaidi, Direktur Utama Bank Mandiri, mengatakan target tersebut telah dinaikkan dari semula hanya ditargetkan sebesar 8%.
"Kami tidak hanya mendorong pertumbuhan segmen wholesale yang jadi core kompentensi kami, tetapi juga terus mengoptimalkan value chain dari nasabah nasabah wholesale tersebut untuk segmen UMKM dan ritel," kata Darmawan.
Sedangkan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) tetap mempertahankan target kredit sebesar 9%-10% dan NIM 4,6%-4,7% tahun ini.
Namun, target biaya kredit diturunkan jadi 1,19%-2,1% dari sebelumnya 2%-2,3% sejalan dengan perbaikan kualitas aset dan pemupukan pencadangan yang sudah dilakukan perseroan.
Novita Widya Anggraini, Direktur Keuangan BNI mengatakan, keputusan menurunkan biaya kredit itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pencadangan yang sudah dilakukan BNI untuk meng-cover NPL sudah sangat cukup.
Per Juni 2022,rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BNI tercatat di level 3,2% atau sebesar Rp 19,46 triliun, turun dari 3,9% pada periode yang sama tahun lalu atau senilai Rp 22,4 triliun.
Secara konservatif, BNI telah meningkatkan pencadangan secara berkala. "Pencadangan terhadap NPL kami sudah 263,3%," ujar Novita
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News