Reporter: Roy Franedya |
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah menerima cetak biru perbankan yang diusulkan Perhimpunan Bank-Bank Umum Indonesia (Perbanas). Regulator menilai, pengelompokan bank menjadi bank umum dan bank khusus bisa berjalan dan tidak bertentangan dengan regulasi.
Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan aturan yang dibuat BI memungkinkan bank mengkhususkan diri pada satu jenis atau model bisnis tertentu saja. "Yang harus dicari tahu, bagaimana model bisnisnya dan bagaimana bank khusus ini bisa bertahan. Jangan begitu berdiri kemudian mati," ujarnya.
Halim mencontohkan pembentukan bank infrastruktur. Menurutnya, wacana bank infrastruktur sejatinya bisa direalisasikan. Sumber dananya dari dana-dana jangka panjang milik dana pensiun dan asuransi. Namun, kedua institusi tersebut cenderung memperlakukan sebagai dana jangka pendek. "Capital inflow juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber dana. Tiga bulan ini dana asing masuk cukup besar," tambahnya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pasar keuangan. Menurut Halim, pasar keuangan yang belum berkembang menjadi masalah utama bank khusus. Sebab, sumber pendanaan bank khusus tidak bisa dengan cara konvensional. Biayanya akan lebih mahal dan muncul resiko mismatch pendanaan dan pembiayaan.
Perbanas meluncurkan cetak biru perbankan pada Kongres ke-18 lalu. Asosiasi mengusulkan bank umum sebagai bank yang memiliki operasional luas, mulai produk hingga teknologi. Sedangkan bank khusus merupakan bank yang ruang geraknya terbatas dan fokus pada satu bisnis. Pengelompokan ini pengembangan dua kategori perbankan dalam UU Perbankan, yakni bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR).
Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, mengatakan bank umum tetap menjadi badan usaha yang mengumpulkan dana masyarakat untuk disalurkan kembali melalui pinjaman. Sedangkan bank khusus memiliki sumber dana yang lebih variatif, bisa dari luar negeri. "Dananya bisa mismatch, kalau digunakan untuk proyek jangka panjang. Sekarang ini mayoritas deposito masyarakat jangka pendek, sebulanan dan roll over (diperpanjang) terus. Jadi perlu bank khusus," ujarnya.
Sigit mengatakan, jika model ini disetujui, regulator harus mendata kembali perbankan. Dari pemetaan ini, BI memilih bank umum dan bank khusus. Pilihan tersebut harus sesuai dengan modal yang dimiliki, pengelolaan resiko hingga kemampuan sumber daya manusia. "Bank juga harus realistis. Bila tidak bisa jadi bank umum jangan dipaksakan karena bisa menghadapi resiko yang tidak bisa diselesaikan karena kemampuan kurang," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News