Reporter: Nina Dwiantika, Yuwono Triatmodjo | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Sejumlah bank akan mengerem penyaluran kredit ke sektor pertambangan. Sebab, sektor ini dinilai memiliki risiko tinggi seiring perlambatan ekonomi global.
Tiga analis Standard Chartered (Stanchart) yakni John Caparusso, Mayank Mishra dan Prabhat Chandra, dalam riset yang dipublikasikan, belum lama ini menyebutkan, bank-bank di Indonesia memiliki eksposur tinggi terhadap kredit komoditas, khususnya pertambangan.
Sebenarnya tidak hanya di Indonesia, Stanchart menyatakan hal serupa juga terjadi di China dan India. Penurunan tajam harga komoditas, khususnya batubara membuat risiko kredit sektor tambang kian besar.
Catatan saja, kemarin, harga batubara kontrak pengiriman November 2014 di bursa Newcastle sebesar US$ 63,50 per ton. Harga terendah dalam lima tahun terakhir, terjadi pada 6 November lalu, yakni US$ 61,90 per ton.
Dalam catatan Stanchart, porsi kredit komoditas terhadap total kredit korporasi yang disalurkan perbankan di Indonesia, rata-rata sekitar 10% hingga 15%. Sementara bank-bank di India rata-rata sekitar 25%.
Tony A. Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada berpendapat, harga batubara masih akan turun pada tahun 2015. Penyebabnya adalah permintaan komoditas batubara yang menyusut di China.
Nah, “Perbankan dapat mengalokasikan kredit pada sektor komoditas lain yang masih potensial, seperti kelapa sawit dan karet,” ujarnya.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mengatakan, pihaknya akan menghindari penyaluran kredit pertambangan, khusus pada sektor batubara. BCA menebak, tahun depan sektor batubara masih akan redup, karena harga tidak akan melonjak.
Lagi pula, “Sektor ini sekarang relatif sepi, karena mereka tidak terlalu butuh kredit dalam jumlah besar,” kata Jahja, Rabu (12/11).
Alihkan ke sektor lain
Meski begitu, Jahja menambahkan, BCA tetap memiliki ruang untuk mengucurkan kredit pertambangan. Namun, sektor pertambangan yang dimaksud adalah tambang yang berkaitan dengan bisnis kontraktor, pengangkutan alat berat, dan angkutan laut. “Tahun depan, pertambangan masih slow down, namun tidak akan lebih rendah lagi karena ini sudah di-bottom,” jelasnya.
Porsi kredit komoditas BCA sendiri turun menjadi 6,5% atau senilai Rp 21,49 triliun per September 2014, dari porsi 7,0% atau setara Rp 20,92 triliun per September 2013.
Roy Arfandy, Plt. Direktur Utama PT Bank Permata Tbk menyatakan, Permata juga akan mengurangi eksposur kredit ke pertambangan, khususnya batubara. “Kami memiliki porsi kredit ke batubara hanya 3% terhadap total kredit Permata yang sebesar Rp 130 triliun per September 2014,” kata Roy.
Permata akan mengalihkan kredit korporasi ke sektor makanan dan minuman, transportasi dan logistik. Karena, sektor ini masih potensial untuk tumbuh, lantaran permintaan konsumsi masih besar di tahun depan.
Sebagai tambahan informasi, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank di sektor pertambangan dan penggalian per Agustus 2014 tercatat 2,47% atau senilai Rp 3,19 triliun. Rasio kredit bermasalah ini lebih tinggi dibandingkan posisi per Agustus 2013 yang sebesar 1,57% atau senilai Rp 1,77 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News