kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.534.000   17.000   1,12%
  • USD/IDR 15.920   -50,00   -0,32%
  • IDX 7.465   11,46   0,15%
  • KOMPAS100 1.135   -0,58   -0,05%
  • LQ45 891   0,04   0,00%
  • ISSI 228   1,25   0,55%
  • IDX30 457   0,31   0,07%
  • IDXHIDIV20 549   2,31   0,42%
  • IDX80 130   -0,08   -0,06%
  • IDXV30 133   -0,46   -0,35%
  • IDXQ30 151   0,43   0,29%

Beda Pandangan Bank Indonesia dan Bankir Terkait Kondisi Likuiditas


Rabu, 11 Desember 2024 / 20:36 WIB
Beda Pandangan Bank Indonesia dan Bankir Terkait Kondisi Likuiditas
ILUSTRASI. Kondisi likuiditas perbankan tanah air tengah jadi sorotan beberapa bulan terakhir. Bankir mengungkapkan terjadi perebutan likuiditas di pasar. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/25/07/2024


Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi likuiditas perbankan tanah air tengah jadi sorotan beberapa bulan terakhir. Beberapa bankir mengungkapkan terjadi perebutan likuiditas di pasar karena adanya pengetatan.

Meski demikian, Bank Indonesia (BI) memiliki pandangan berbeda terkait kondisi tersebut. Bank sentral ini justru melihat adanya kelonggaran terkait likuiditas perbankan.

Dalam buku Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024, Gubernur BI Perry Warjiyo melihat kondisi longgarnya likuiditas tercermin dalam pemenuhan kewajiban rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).

Sebagai informasi, rasio PLM adalah kewajiban bank untuk menyimpan sebagai alat likuid pada surat-surat berharga yang berkualitas. Contohnya adalah Surat Berharga Negara (SBN).

Baca Juga: 10 Bank Aset Terbesar di Indonesia Beberkan Target Pertumbuhan Kredit di 2025

Ia bilang pada PTBI tahun 2023, BI padahal sudah menurunkan rasio PLM sebesar 100 basis poin menjadi 5% untuk Bank Umum Konvensional dan 3,5% untuk Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah. Realisasinya, banyak bank yang justru memiliki rasio PLM di atas 20%.

Secara rinci, ada 73 bank yang memiliki rasio PLM di atas 20%. Sementara, ada 28 bank yang memiliki PLM di antara 10% hingga 20%.

“Perbankan cenderung menempatkan kelebihan likuiditas pada SSB sebagai alternatif penempatan dana di tengah belum kuatnya permintaan kredit dari dunia usaha yang memenuhi persyaratan,” ujar Perry dikutip Rabu (11/12).

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan kondisi likuiditas industri perbankan secara umum memang masih tergolong longgar. Namun, jika perbandingannya adalah ketika masa pandemi Covid-19 memang cenderung mengetat.

Di sisi lain, ia melihat kredit perbankan di kuartal III/2024 yang tumbuh hanya sekitar 10,85% secara tahunan. Ditambah, rasio investasi terhadap PDB yang masih rendah dibandingkan dengan rasio kredit menunjukkan adanya ruang besar untuk ekspansi kredit.

“Kondisi ini mencerminkan bahwa bank masih sedikit berhati-hati dalam penyaluran kredit, meskipun likuiditas mencukupi,” ujarnya.

Sependapat, Ekonom Senior LPPI Ryan Kiryanto bilang memang jika secara industri likuiditas perbankan terlihat cukup longgar. Sebab, Loan to Deposit Ratio (LDR) secara industri saja masih di bawah 90%.

Baca Juga: Likuiditas Seret, Sikap Bankir Beragam Menyosong 2025

Hanya saja, ia tak menampik bahwa ada kondisi di beberapa bank yang memang memiliki likuiditas ketat. Sebab, antara satu bank dan bank lainnya tentu berbeda.

“Memang terjadi persaingan yang ketat untuk mencari likuiditas, terutama malah terlihat antar produk perbankan dengan yang non perbankan,” ujarnya.

Bagi bank-bank yang memiliki likuiditas longgar, Ryan melihat ada kecenderungan bank melakukan excess likuiditas di saat ada potensi risiko kredit yang tinggi. Sebab, ia menilai bank juga perlu menjaga agar dana simpanan masyarakat itu punya nilai.

“Tidak tertutup oleh penyaluran kredit, maka mereka tempatkan di SBN yang ada imbal hasilnya,” ujar Ryan.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar pun mengungkapkan instrumen surat utang yg dimiliki oleh bank selain merupakan bagian dari strategi investasi pada aset non loan juga merupakan  salah satu alternatif instrumen yang dapat digunakan sebagai back stop liquidity bagi bank.

“Dalam hal ini untuk menghadapi risiko likuiditas namun tetap bisa memberikan return bagi bank,” ujar Royke.

Selain risk free, Royke melihat surat berharga juga cukup likuid untuk diperdagangkan atau bisa digunakan sebagai underlying transaksi Repo. Sehingga meskipun kewajiban pemenuhan PLM hanya 5%, ia melihat bank tetap perlu menjaga agar tidak terekspos risiko likuiditas dengan salah satu opsinya membeli surat berharga.

“Semakin besar balance sheet bank, maka kebutuhan back stop liquidity juga harus bisa mengimbangi growth tersebut,” tambahnya.

Sementara itu, ia menegaskan bahwa untuk ekspansi asset kredit, BNI terus menjalankan sebagaimana rencana yang disusun oleh bank. Menurutnya, pembelian surat berharga tidak akan mengganggu ekspansi bank, karena sudah diperhitungkan sesuai kebutuhan bank.

EVP Corporate and Social Responsibility BCA Hera F Haryn bilang BCA senantiasa menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dengan ekspansi kredit yang sehat. Ditambah, rasio LDR BCA tercatat sebesar 75,1% pada sembilan bulan pertama tahun 2024.

Ia menjelaskan sebagian besar likuiditas BCA berasal dari penghimpunan dana giro dan tabungan (CASA) yang solid dengan biaya bunga rendah. Pada September 2024, CASA BCA secara bank only berkontribusi sekitar 82% dari total DPK, tumbuh 5,2% mencapai Rp915 triliun.

“BCA senantiasa mengelola likuiditas secara pruden serta mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam penerapan manajemen risiko,” ujar Hera.

Selanjutnya: Wahana Interfood Nusantara (COCO) Resmikan Pabrik Cokelat Baru di Sumedang

Menarik Dibaca: 4 Tips Kesehatan untuk Para Ibu agar Tetap Bugar, Terapkan ya Moms

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×