kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berharap pahala plus nilai tambah dari ibadah


Rabu, 29 Agustus 2012 / 16:57 WIB
Berharap pahala plus nilai tambah dari ibadah
ILUSTRASI. (Sumber:?dapurkobe.co.id) Resep cara membuat Saus Opor Makaroni yang lezat, kreasi dari sup opor ayam agar tidak bosan


Sumber: KONTAN MINGGUAN 45 XVI 2012, Laporan Utama3 | Editor: Imanuel Alexander

Wajib pajak telah memanfaatkan fasilitas pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan dalam pelaporan pajak. Tapi lembaga amil zakat menilai aturan ini belum efektif dan rumit. Semestinya, zakat langsung memotong setoran pajak.

Meski secara resmi Indonesia bukan negara berasas Islam, beberapa ajaran agama ini selalu mendapat tempat dalam kehidupan bernegara. Alih-alih menjadi pertentangan, ajaran-ajaran Islam kerap diakomodasi dalam undang-undang (UU) sebagai sebuah jalan tengah. Salah satunya kewajiban membayar zakat harta dan penghasilan.

Di sisi lain, negara juga memungut pajak atas penghasilan dan kekayaan warga negaranya. Relasi zakat dan pajak pertama kali muncul dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999. Zakat menjadi insentif fiskal berupa pengurang pendapatan kena pajak (tax deduction) . Di lain sisi, menurut UU No. 17 Tahun 2000 zakat yang diterima badan amil zakat (BAZ) atau lembaga amil zakat (LAZ) tidak termasuk sebagai objek pajak.

Seiring berjalan waktu, payung hukum pelaksanaan aturan ini terus diperbarui. Aturan teranyar tentang hubungan pajak dan zakat ini adalah Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. 6 Tahun 2011 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Secara umum, zakat penghasilan yang dibayarkan wajib pajak (WP) seorang
beragama Islam atau WP badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam kepada badan atau lembaga zakat itu menjadi faktor pengurang dalam menentukan besaran penghasilan kena pajak.

Aturan ini juga berlaku bagi sumbangan keagamaan yang bersifat wajib bagi individu dan WP badan dalam negeri nonmuslim yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Ditjen Pajak Kementerian Keuangan telah menetapkan 21 lembaga penerima zakat atau sumbangan keagamaan (lihat tabel halaman 7).

Agar mendapat pengurangan pajak, WP cukup melampirkan bukti pembayaran zakat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh). Bukti pembayaran tersebut dapat berupa pembayaran zakat secara langsung, transfer antarbank, atau pembayaran melalui mesin ATM. Ketua Forum Zakat yang juga Direktur LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Sri Adi Bramasetia menyebut bukti pembayaran itu sebagai bukti setoran zakat (BSZ).

Bukti zakat dikatakan sah dan bisa diterima Ditjen Pajak apabila memuat nama lengkap wajib pajak dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), jumlah dan tanggal pembayaran, nama BAZ atau LAZ, serta tandata-ngan petugas. Bila pembayaran zakat dilakukan melalui transfer rekening bank, maka harus ada validasi dari bank.

Fasilitas ini mulai dimanfaatkan oleh para pembayar zakat. Menurut Bramasetia, pembayar zakat (muzaki) yang meminta BSZ untuk menjadi lampiran dalam laporan pajak di PKPU sudah semakin banyak. Permintaan ini berasal dari WP individu maupun badan usaha. “Rupanya memang cukup banyak muzaki yang well educated dan tahu aturan ini,” katanya.

Gejala serupa juga ditangkap Anwar Sani, Ketua Yayasan Daarul Qur'an Nusantara, yang lama aktif di dunia perzakatan Indonesia. Kebijakan ini menjadi penarik para pembayar zakat untuk menunaikan kewajiban mensucikan harta melalui lembaga zakat sekaligus mengurangi setoran pajak. “Namun belum maksimal dalam sosialisasinya,” imbuhnya.

Upaya sosialisasi masalah ini terus dilakukan oleh Chief Executive Officer Rumah Zakat Indonesia (RZI) Nur Effendi. Di lembaga zakat ini, jumlah muzaki yang minta BSZ meningkat setiap tahun. “Kalau disebut tidak efektif mungkin karena LAZ belum memahami detail aturan tersebut,” katanya.

Harus mau repot

Meski pemanfaatan fasilitas ini meningkat, sebagian orang menganggap aturan ini kurang efektif. Sebab, setoran zakat sebagai pengurang penghasilan bruto atau penghasilan kena pajak (PKP) bersifat restitutif. Artinya, wajib pajak tetap membayar pajak sesuai penghasilan dan melampirkan BSZ menjadi bukti telah membayar zakat. Nah, setelah itu, WP harus menanti untuk mendapat pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi).

Di sisi lain, model restitusi pajak membuat sebagian wajib pajak enggan menjalani proses ini. Biasanya, bila WP melaporkan adanya kelebihan bayar pajak dan meminta restitusi, aparat pajak akan melakukan pemeriksaan. Di sini, aparat pajak akan meneliti pendapatan hingga kekayaan WP secara lebih detail. Bisa jadi, ujung-ujungnya, bukan restitusi yang diperoleh WP, tapi justru harus menyetor pajak tambahan.

Model pemeriksaan dalam proses restitusi memang seperti itu. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Dedi Rudaedi mengatakan, dalam proses restitusi ini, aparat pajak hanya melaksanakan perintah undang-undang. Terkait masalah penyetoran bukti setoran zakat ke SPT untuk dihitung dulu, lanjut dia, sejauh ini belum tentu ada kelebihan pajak yang dibayarkan. “Tapi, bisa juga ada kelebihan,” katanya.

Selama ini, Ditjen Pajak tidak melakukan pengawasan khusus terhadap fasilitas pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan. Dedi menyebut laporan itu ada dalam setiap SPT wajib pajak. Jadi, ya, harus melihat satu per satu SPT tersebut.
Dengan skema seperti itu, menurut Direktur Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Teten Kustiawan, insentif yang diberikan pemerintah itu tidak terlalu menarik bagi muzaki. Selain merepotkan, nilai pemotongan tidak signifikan mengurangi setoran pajak. “Kalau pembayaran zakat dari masyarakat bisa mengurangi setoran pajak, itu baru signifikan,” ungkap dia. Maksudnya, seharusnya nilai setoran zakat tidak cuma mengurangi nilai penghasilan, tapi langsung mengurangi nilai pajak yang harus disetor.

Direktur Eksekutif Baitulmaal Hidayatullah Wahyu Rahman juga menilai aturan ini kurang efektif. Karena itu, beberapa LAZ tengah memperjuangkan agar setoran zakat mengurangi setoran pajak. Lagi pula, menurut Vice President Director Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Shodaqoh Muhammadiyah (Lazismu) M. Khoirul Muttaqin bilang, aturan tersebut membuat masyarakat harus membayar “pungutan” ganda: pajak ke negara dan zakat sebagai kewajiban agama.

Apalagi, meski tanpa sanksi hukum, orang selama ini cenderung jujur dalam membayar zakat. Berbeda dengan menyetor pajak, yang biasanya banyak orang melakukan penghindaran. Nah, karena itu, Khoirul meminta Ditjen Pajak mau mengakui pembayaran zakat sebagai pengurang pajak.

Begitu pula pandangan Taufik Hidayat, Ketua Badan Pengumpul Zakat Infak Sedekah Bank Mandiri (BP ZIS Bank Mandiri). Menurut dia, saat ini pengurangan pajak dengan restitusi atau sistem reimburse masih belum efektif dalam menjaring orang untuk membayar pajak. “Pengurangan pajaknya tidak seberapa, tapi mengurusnya itu repot sekali,” tukas dia.

Bahkan, lanjut Taufik, untuk mengurus pengembalian kelebihan pajak itu seorang muzaki bisa butuh waktu hingga enam bulan. “Tidak heran banyak yang menilai percuma dan tak efektif mengurus reimburse itu,” ujarnya.

Seharusnya pembayaran pajak dimasukkan dalam lembar isian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) wajib pajak. Jika hal itu dilakukan maka mungkin banyak muzaki yang tertarik. Sebab, pajak yang ditanggung muzaki akan menjadi lebih kecil. Sedangkan bagi perusahaan, bantuan pajak yang ditanggung oleh perusahaan menjadi lebih rendah karena pajak pegawainya lebih kecil. “Jadinya keuntungan perusahaan meningkat,” kata Taufik.

Nah, semua happy, kan?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 45 XVI 2012, Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×