Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah bank mengaku likuiditas valuta asing (valas) mereka masih terjaga dengan baik. Banyaknya instrumen yang diterbitkan BI akan semakin menambah likuiditas perbankan kedepannya dalam menghadapi risiko pasar.
Data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) segmen valas Bank Umum naik sebesar 21% secara tahunan (year on year/yoy) mencapai Rp 1.412,32 triliun per Mei 2024. Naik dari periode tahun sebelumnya sebesar Rp 1.169,75 triliun per Mei 2023.
Meski likuiditas bank masih terjaga, namun BI terlihat makin gencar menerbitkan berbagai instrumen demi menjaga kondisi likuiditas valas dan stabilitas rupiah di dalam negeri. Diantaranya dengan menerbitkan SVBI (Surat berharga dalam valuta asing), SUVBI (Sukuk Dalam Valuta Asing), dan SRBI (Surat Berharga Dalam Mata Uang Rupiah).
Baca Juga: Program Golden Visa Jadi Angin Segar Bagi Likuiditas Perbankan di Tanah Air
Terbaru, BI bersama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), serta 8 bank baru saja menyepakati pengembangan Central Counterparty (CCP) di pasar uang dan pasar valuta asing (PUVA).
CCP itu sendiri difokuskan sebagai lembaga yang menjalankan kliring, sehingga CCP menempatkan dirinya diantara para pihak yang melakukan transaksi guna memitigasi risiko kredit lawan transaksinya, risiko likuiditas, dan risiko pasar terhadap pergerakan harga di pasar.
Likuiditas terjaga
Disisi lain, sejumlah bankir tanah air juga mengakui kondisi likuiditas mereka masih terjaga dengan baik. Misalnya Citibank N.A., Indonesia (Citi) dan PT BPD Jawa Timur Tbk (Bank Jatim).
CEO Citi, Batara Sianturi mengatakan, pihaknya terus berkomitmen untuk memastikan kecukupan likuiditas baik dalam rupiah maupun valas, guna mendukung kebutuhan kredit nasabah di Citi.
“Komitmen ini tercermin dalam kondisi likuiditas kami, terlihat dari rasio NSFR dan LCR kami yang cukup memadai," ungkap Batara kepada Kontan, Selasa (13/8).
Adapun terkait dengan instrumen yang diluncurkan BI, Batara menyebut hal tersebut karena BI terus mengedepankan stabilitas sistem moneter dan mendorong masuknya modal asing ke pasar domestik melalui berbagai inovasi seperti SVBI, SUVBI, dan SRBI.
Dalam penjelasannya, ketiga instrumen ini memberikan pilihan strategis baik bagi perbankan lokal maupun investor asing. Dengan imbal hasil yang menarik, di mana SVBI/SUVBI menawarkan premium sekitar 20-30 bps di atas SOFR 1 bulan dan 3 bulan, serta SRBI 1 tahun yang juga menawarkan imbal hasil kompetitif, inovasi ini telah berkontribusi signifikan dalam peningkatan Gross FX Reserve yang terakhir tercatat sebesar US$ 145,4 miliar pada bulan Juli 2024.
"Tingginya minat investor asing, khususnya terhadap SRBI, turut menopang likuiditas perbankan, dengan likuiditas rupiah (IDR) meningkat sebesar IDR 170 triliun year to date/YTD per 7 Agustus 2024, dan likuiditas valas meningkat sebesar US$ 2,6 miliar YTD per 7 Agustus 2024," jelas Batara.
Baca Juga: Golden Visa: Antara Memuluskan Family Office dan Kisah Kegagalan Negara Lain
Senada, Edi Masrianto, Direktur Keuangan, Treasury and Global Services PT BPD Jawa Timur Tbk (Bank Jatim) juga membenarkan dengan berbagai instrumen pengelolaan valas yang dibentuk BI, seperti penerbitan SVBI, SUVBI, hingga pembentukan CCPI memiliki potensi untuk meningkatkan likuiditas valas perbankan.
"Namun, dampak sebenarnya akan tergantung pada beberapa faktor, seperti desain instrumen, kondisi pasar dan kapasitas perbankan dalam memanfaatkan instrumen tersebut," kata Edi.
Lebih lanjut Edi juga menyebut terkait pembentukan CCP hanya akan berefek pada pelaku CCP itu sendiri, dan tidak terlalu berpengaruh pada yang bukan.
"Ya dapat memanfaatkan instrumen tersebut kan sebagai salah satu alternatif. Kalau CCP berefek atau tidak ya gak juga sih, itu semacam lembaga kliringnya lah, nah tetapi bagi yang sebagai pelaku CCP sudah barang tentu berpengaruh terhadap penyiapan enviroment-nya," ungkap Edi.
Adapun di Bank Jatim sendiri, Edi memastikan likuiditas valas masih terjaga dengan baik, meskipun porsi dan kebutuhannya tidak terlalu besar, karena Bank Jatim lebih banyak melayani nasabah yang membutuhan rupiah dalam penyaluran kreditnya.
"Likuiditas valas Bank Jatim saat ini cukup terjaga dengan baik, dengan posisi GWM valas dan PDN valas terjaga sesuai ketentuan otoritas. Valas di Bank Jatim kecil, cuma sekitar Rp 150 miliar," kata Edi.
Di sisi lain, Pengamat Perbankan, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan mengatakan, Langkah BI dalam menerbitkan berbagai instrument baru tidak lain salah satunya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Trioksa membenarkan dengan langkah BI menerbitkan berbagai aturan tersebut adalah untuk mengantisipasi risiko pasar, termasuk perubahan suku bunga ke depannya.
"Saya kira wajar di tengah suku bunga The Fed yang hampir sama dengan BI rate, perlu ada instrumen untuk menjaga likuiditas valas di dalam negri dan menjaga stabilitas rupiah," ungkap Trioksa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News