Reporter: Marti Riani Maghfiroh | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level 6,5% dipandang pesimistis oleh ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono. Kebijakan alternatif yang dipilih BI yakni menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) dan penyempurnaan Giro Wajib Minimum Loan Deposit Rasio (GWM-LDR) serta GWM Sekunder dalam rangka penguatan stabilitas sistem keuangan, juga dinilai kurang powerful oleh Tony.
“Saya meragukan kemampuan instrumen-instrumen tersebut. Dengan posisi cadev saat ini U$ 92,7 miliar, menurut saya memerlukan kebijakan yang lebih powerful daripada berbagai instrumen yang dipilih BI itu“, ungkapnya saat dihubungi Kontan sore ini (15/8)
Tony justru berpikir sebaiknya BI Rate naik 25-50 bps menjadi 6,75-7,0%. Menurutnya, level inflasi yang lebih tinggi daripada BI Rate berpotensi memberi tekanan likuiditas yang lebih besar pada industri perbankan. Selanjutnya, tekanan likuiditas itu tentu akan menekan kurs rupiah dan dampaknya cadangan devisa negara pun terancam akan semakin terkuras.
“BI Rate sudah tidak sesuai dengan level inflasi yang kini 8,61% (yoy) dan expected inflation akhir tahun 8,25%“,pungkasnya.
Seperti yang diketahui, BI akan segera menyempurnakan batas atas GWM-LDR menjadi 78%-92% dari sebelumnya yang berada di angka 78%-100%. Sedangkan GWM sekunder juga turut diperketat dengan menaikkannya dari 2,5% menjadi 4%. Selain itu, dalam jangka waktu 3 bulan mendatang BI juga akan menerbitkan SDBI. Kebijakan moneter dan makroprudensial ini ditempuh bank sentral setelah resmi memutuskan BI Rate tetap dipertahankan di level 6,5% melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini (15/8)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News