Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia tahun ini terus mengalami defisit. Selain itu, rupiah masih bergerak di level terbarunya, sekitar Rp10.290. Inflasi pada Juli kemarin juga mencapai 3,29%. Sentimen-sentimen tersebut tentunya menjadi pertimbangan pada rapat Bank Indonesia (BI) yang akan berlangsung hari ini (15/8), untuk memutuskan apakah BI rate akan kembali dinaikkan atau tidak.
Nugroho SBM, Dosen Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro memprediksi, BI rate akan kembali dinaikkan ke level 7%. "Karena pada prekteknya, bunga deposito sudah lebih dulu naik ke level 7% ke atas," imbuhnya.
Menaikan BI rate, lanjut Nugroho, merupakan langkah yang paling memungkinkan bagi BI. Tapi, di sisi lain sebenarnya juga tidak realistis mempertahankan kurs rupiah di bawah level 10.000. Dia menjelaskan, rupiah harus menerima keseimbangan baru di atas level 10.000.
"Level ini dinilai yang paling logis lantaran faktor eksternal dalam bentuk penguatan dollar itu sebenarnya terjadi untuk hampir semua mata uang dunia. Lagipula, depresiasi rupiah juga sebeanrnya terbilang kecil," paparnya.
Lalu, lanjut Nugroho, karena tingginya inflasi di Indonesia membuat perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) juga menghasilkan kurs yang realistis di level Rp 10.000 per dolar AS. Sederhananya, PPP adalah daya beli satu rupiah di Jakarta adalah sama dengan daya beli rupiah di Singapura, Hongkong, ataupun tempat lain di seluruh dunia.
Dampaknya ke rupiah
Nah, jika melihat penjelasan tersebut maka sepintas BI tidak lagi memiliki ruang untuk kembali menaikan BI rate. "Tapi, sebenarnya BI rate tetap perlu dinaikkan lagi supaya pelemahan rupiah tidak terlampau dalam. Selain itu, tujuannya agar jarak antara BI rate dan suku bunga The Fed tidak terlampau jauh," tukas Nugroho.
Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga berjangka memberikan pandangan senada. "Tidak ada alasan bagi BI untuk menahan BI rate," tegasnya.
Pasalnya, menurut Lukman, jika BI rate tidak dinaikan maka rupiah akan melemah lebih dalam. Jadi, keputusan BI untuk kembali menaikan suku bunga acuannya sangatlah wajar.
Andai BI rate jadi dinaikan, Lukman menilai dampaknya tidak akan besar bagi kondisi pasar uang itu sendiri. Soalnya, pelaku pasar sudah mengantisipasi hal ini sehingga rupiah cenderung bertahan. "Malah yang bahaya kalau BI rate tidak dinaikan. Kalau begini, rupiah bisa semakin melemah," tambahnya.
Lukman memiliki pendapat senada dengan Nugroho terkait level baru rupiah. Kenaikan BI rate hanya untuk menjaga pelemahan yang lebih dalam, bukan untuk mengembalikan rupiah ke level 9.000.
"Kita memang sempat di level 8.000 tapi dulu kondisinya 180 derajat. Dulu semuanya positif, inflasi rendah, data-data ekonomi juga sangat bagus," papar Lukman.
Hanya masalahnya, saat ini banyak pihak yang menghubungkan level rupiah yang baru itu dengan kondisi yang sulit. Mereka takut kejadian seperti 1998 lalu kembali terulang. Tapi, perlu diingat, penguatan dollar AS berlaku bagi semua kurs. Pelemahan rupiah juga tidak separah rupe.
"Intinya jangan panik. Level rupiah itu tidak ada yang bagus atau jelek, tapi semuanya sesuai kebutuhan. Yang penting adalah, pergerakan rupiah harus bisa dikontrol," jelas Lukman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News