kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI rate tinggi menghambat sektor industri


Rabu, 27 November 2013 / 15:45 WIB
BI rate tinggi menghambat sektor industri
ILUSTRASI. Ilustrasi El Nino./Pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/29/07/2015.


Reporter: Umar Idris, Anastasia Lilin Y, Dea Chadiza Syafina | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Semua mata pengusaha kini tertuju pada kebijakan Bank Indonesia (BI) terhadap suku bunga acuan atawa BI rate. Bagaimana tidak? Kenaikan BI rate, Selasa (12/11) lalu, ke level 7,5% rupanya belum akan berakhir.

Kenaikan BI rate terjadi sejak Agus Martowardojo menjadi orang nomor satu di bank sentral, akhir Mei 2013 lalu. Dalam rapat gubernur pada 13 Juni, BI memutuskan mendongkrak BI rate yang bertahan sejak 9 Februari 2012 di posisi 5,75% menjadi 6%. Bulan berikutnya, 11 Juli, BI rate naik 50 basis poin menjadi 6,5% (lihat infografi s). “Tapi, tidak tepat dikatakan rezim bunga tinggi karena dari dulu BI rate seharusnya naik,” tegas Difi A. Djohansyah, juru bicara BI ke KONTAN.

Difi juga membantah kabar yang berembus kencang, bahwa rapat dewan gubernur BI berjalan alot dalam penetapan kenaikan BI rate. Dalam rapat tersebut, sebelum lahir keputusan menaikkan BI rate, anggota dewan gubernur BI dihadapkan pada tantangan eksternal berupa rencana penghentian stimulus oleh The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat. Dari dalam negeri, defisit neraca transaksi berjalan (current account) makin lebar sehingga memperlemah nilai tukar rupiah. Keputusan BI mengatrol BI rate lebih ditujukan untuk memperbaiki defi sit transaksi berjalan hingga ke level di bawah 3% tahun depan.

Menurut Difi, kenaikan BI rate juga untuk mengantisipasi dari sekarang rencana The Fed menghentikan stimulus tahun depan. Jika tidak dilakukan dari sekarang, neraca transaksi berjalan semakin defi sit. Lalu, ketika dana asing keluar, rupiah jatuh lebih parah lagi. “Ongkosnya sangat besar seperti krisis tahun 1998,” tutur Difi .

Setelah BI rate naik menjadi 7,5%, sejatinya ini bukan kenaikan terakhir. Dalam pertemuan tahunan dengan para bankir, dua hari sesudah rapat dewan gubernur yang memutuskan kenaikan BI rate ke posisi 7,5%, Gubernur BI meminta para bankir memperketat laju pertumbuhan kredit tahun depan di kisaran 15% hingga 17%.

Angka ini jauh di bawah pertumbuhan kredit perbankan saat ini yang sekitar 20%. “Di Bank Central Asia (BCA), tahun ini pertumbuhan di kisaran 20%-23%, tahun depan kami akan kendalikan 13,5%–15%,” kata Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama PT BCA Tbk.

Difi mengatakan, lewat pengetatan pemberian kredit ini, BI membuka opsi untuk menaikkan BI rate pada akhir tahun ini dan tahun depan. “Ekspektasi infl asi tahun ini 9%, seharusnya BI rate yang ideal tidak jauh dari situ,” ujarnya.

Dampak dari kenaikan BI rate yang masih akan terus berlangsung tak pelak akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi kita. Tahun ini, dari target pemerintah sebesar 6,3%, diperkirakan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5,7%. Dengan kata lain, semua sektor industri di tanah air akan mengalami penurunan laba, perlambatan pertumbuhan produksi, dan menghentikan penerimaan tenaga kerja baru. “Konsekuensi dari perlambatan ekonomi, semua sektor industri, ya, akan melambat,” terang Difi .

Pengusaha menjerit

Efek kenaikan BI sebanyak lima kali dalam tempo enam bulan sudah dirasakan oleh sebagian besar pengusaha. Sebab dampaknya ke bunga kredit perbankan yang ikutan naik. Data BI menunjukkan, kenaikan bunga kredit perbankan ratarata terjadi sejak September 2013 lalu. Di bulan itu, suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan terlihat berangsut naik hingga November.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyesalkan kenaikan BI rate yang terus dilakukan bank sentral. Kenaikan BI rate yang akan terus terjadi menyulut inflasi. Akibatnya, bunga bank akan naik lagi. “Jadi, BI hanya menyelesaikan masalah saat ini melalui moneter. Seharusnya diselesaikan bersama pemerintah melalui sektor riil,” imbuh dia.


Saat ini, sebagian besar anggota Apindo sudah mengalami kenaikan bunga kredit. Namun, ketika perusahaan akan menaikkan harga produk di pasar, konsumen tidak bisa menerima. Sebab, daya beli masih rendah karena terpukul oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Harga juga tak bisa naik karena harus bersaing dengan produk impor.

Menurut Sofjan, semua industri sekarang mulai mengalami kesulitan. Ambil contoh, “Penurunan penjualan atau pengurangan produksi, seperti industri otomotif, tekstil, dan sepatu,” ungkap Sofjan.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat membenarkan kesulitan para anggotanya. Kenaikan BI rate akan semakin menyulitkan industri tekstil level menengah kecil yang berorientasi pasar ekspor. Total perusahaan tekstil sekitar 2.900 perusahaan, namun anggota API hanya 1.900 perusahaan. “Dari 1.900 perusahaan anggota, 50% adalah kelas menengah kecil,” katanya.

Anggota API di level menengah kecil ini kesulitan lantaran banyak hal. Selama ini mereka tertekan dengan produk impor. Maklum, sebagian besar dari mereka berorientasi pasar dalam negeri. Mereka makin tertekan dengan kenaikan bunga kredit. “Mereka tidak mungkin mengembangkan usaha dengan uang nenek moyangnya sendiri, pasti mencari pinjaman. Jadi, sangat merasakan dampaknya sekarang,” tambah Ade.

Industri tekstil meminta pemerintah segera memfasilitasi pembukaan pasar baru di Afrika dan Timur Tengah. Jika tidak, tak lama lagi usaha mereka akan gulung tikar. Adapun Apindo minta pemerintah melaksanakan paket kebijakan ekonomi yang diumumkan sesudah harga BBM naik.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 9 - XVIII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×