kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI: Struktur Lemah, Ekonomi Indonesia Rentan


Kamis, 06 Mei 2010 / 19:17 WIB
BI: Struktur Lemah, Ekonomi Indonesia Rentan


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Harris Hadinata

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menilai pertumbuhan ekonomi yang berlari terlalu kencang hingga ke angka 7% tahun ini tidak akan sehat. Pasalnya, hingga sekarang struktur ekonomi Indonesia masih menyimpan kelemahan yang membuka peluang terjadinya overheating alias kelebihan beban. Kondisi overheating bisa terjadi kalau kapasitas produksi dalam negeri tak mampu mengimbangi kebutuhan barang produksi. Imbasnya, keran impor akan kian mengucur deras.

Pjs. Gubernur BI Darmin Nasution menuturkan, kemampuan industri nasional untuk menghasilkan bahan baku masih tergolong minim. Dus, ketika terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan mengimpor bahan baku (barang modal) pun ikut melesat naik. "Industri penghasil bahan baku apalagi barang modal masih lemah, sehingga setiap ekonomi tumbuh mendekati angka 7%, impor akan meningkat cepat," jelasnya di Jakarta, Kamis (6/5).

Peningkatan impor barang juga akan mendorong defisit neraca berjalan, meskipun pertumbuhan ekonomi tercatat naik. Bila sudah demikian, para stakeholder alias pemangku kepentingan akan dipaksa untuk mencari jalan keluar mengantisipasi terjadinya defisit tersebut. "Jika defisit ekonomi terjadi, kita bisa overheated," kata Darmin.

BI sendiri menyadari salah satu titik lemah struktur ekonomi adalah terkait masih minimnya optimalisasi industri berbahan baku lokal. Bank sentral lantas menilai perlu ada dorongan bagi sektor-sektor tertentu agar lebih produktif, terutama sektor produksi yang tidak terlalu mengandalkan impor barang modal seperti keramik, perikanan dan kulit.

Nah, jika sektor tersebut bisa dioptimalisasi dan produknya tak hanya beredar di dalam negeri, maka hal itu bisa mengimbangi derasnya arus impor. "Kita punya berbagai jenis produk yang bisa melepaskan kondisi dari titik lemah, sehingga ketika ekonomi bertumbuh mendekat angka 7%, tidak menjadi overheated," ujar Darmin.

BI mencatat saat ini sudah terdapat kecenderungan naiknya potensi overheating tersebut. Hal ini terjadi seiring perkiraan kian cepatnya laju pemulihan ekonomi Indonesia pasca hantaman krisis kemarin. "Angka permintaan semakin tinggi yang berbanding lurus dengan kian cepatnya pemulihan, maka output gap tambah besar," kata Kepala Biro Riset Ekonomi Direktorat Kebijakan Moneter BI Iskandar Simorangkir. Jika output gap besar, maka imbasnya bisa mengerek inflasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×