Reporter: Dani Prasetya |
JAKARTA. Perusahaan sekuritas mengandalkan divisi manajemen investasi sebagai penopang pendapatan. Adapun kontribusi bisnis penjaminan emisi, bisnis utama selama ini, terus menurun.
Hal ini terlihat di beberapa laporan keuangan sekuritas, salah satunya Panin Sekuritas. Divisi manajemen investasi berkontribusi 40% terhadap total pendapatan. Sisanya dari unit perdagangan perantara alias brokerage 10%, pembiayaan transaksi 16%, investasi 22%, dan lain-lain.
Pada kuartal I-2012, Panin mencetak laba sekitar Rp 75,84 miliar, naik 87,67% (year on year/yoy). Kenaikan sejalan dengan peningkatan pendapatan yang tumbuh 74,71% menjadi Rp 120,83 miliar. Ini dampak dari untung perdagangan efek sekitar Rp 26,76 miliar. Sebelumnya bisnis ini rugi Rp 669,32 juta.
Divisi manajemen investasi memberikan andil paling besar. Pada periode itu, jasa manajer investasi naik menjadi Rp 51,19 miliar dari sebelumnya Rp 22,83 miliar.
Presiden Direktur Panin Sekuritas, Hendrata Sadeli mengutarakan, bisnis manajemen investasi, terutama penjualan reksadana, tengah menjadi andalan. Penjualan reksadana ke investor baru jauh lebih mudah ketimbang saham.
Ibarat kata, reksadana "serupa" deposito yang tidak membutuhkan pengetahuan mendalam soal pasar modal. Jumlah investor tumbuh dua kali lipat, dari 7.000 rekening menjadi 14.000 rekening, April 2012.
Melihat kondisi ini, tidak heran apabila Panin kini mengandalkan bisnis manajemen investasi. Bisnis penjaminan emisi mungkin menjadi divisi yang belum bisa memberikan sumbangsih pada pemasukan Panin. Maklum, selama kuartal I-2012 tidak ada aktivitas penawaran saham perdana (IPO).
Trimegah Sekuritas pun senada. Perusahaan ini tidak lagi melihat prospek brokerage dan penjaminan emisi sebagai penopang. Saat Presiden Direktur Trimegah, Omar S. Anwar masuk ke perusahaan itu pada 2010, bisnis brokerage yang telah menjadi andalan dalam 10 tahun terakhir, mulai terbentur beberapa hambatan. Geliat perdagangan perantara via online alias online trading juga menggerus pangsa sekuritas.
Bisnis penjaminan emisi juga tak luput dari rintangan. Aturan tentang modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) ikut menghalangi. Aturan ini sangat berpengaruh terhadap nasib bisnis brokerage karena kondisi pasar modal berubah drastis. Jadi, apabila Trimegah berniat menjadi penjamin emisi IPO, penerbitan obligasi, dan broker, bakal terkait MKBD ini. Namun, Trimegah tidak berniat meninggalkan kedua bisnis itu.
Ketimbang tertinggal arus deras online trading, perusahaan itu pun memilih mengikuti tren. April lalu menjadi momentum pembukaan layanan online trading Trimegah.
Nantinya, nasabah online bakal menyumbang 20% dari porsi 50% nasabah ritel. Sisanya, tetap dikontribusi nasabah ritel konvensional. Lalu, 50% lainnya mengandalkan pemasukan brokerage institusi. Porsi itu meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 40% dari total nasabah brokerage.
Transformasi bisnis yang bakal berlangsung selama tiga tahun itu nantinya bakal lebih mengandalkan nasabah institusi karena jauh lebih menguntungkan ketimbang nasabah ritel yang sering meminta diskon tarif.
Sedangkan divisi penjaminan emisi bakal sedikit dikurangi secara bertahap karena adanya aturan modal 25% dari total IPO. Nantinya, Trimegah memilih menjalankan usaha konsultasi alias advisory karena berbasis komisi. Contoh saja, perusahaan itu mendapat pemasukan sebesar Rp 9 miliar dari konsultasi perhelatan IPO Martina Berto.
Untuk mengompensasi pengurangan penjaminan emisi saham, Trimegah mencari order penerbitan obligasi. Agendanya, menjalankan penerbitan obligasi untuk 8-9 perusahaan. Antara lain Bank Nagari dan Toyota Astra Finance.
Lalu divisi apa yang bakal menjadi andalan? Sejak 2010, Trimegah mengubah arah bisnis. Manajemen aset atau investasi dijadikan tulang punggung karena nyaris tidak tersentuh gonjang-ganjing aturan. Malahan, bisnis ini cenderung memberikan pemasukan stabil.
Terbukti, dana kelolaan alias asset under management (AUM) Trimegah melonjak dari Rp 2 triliun pada 2010 menjadi Rp 4,5 triliun pada periode ini. Targetnya, perusahaan itu menjaring AUM sekitar Rp 5,5 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News