Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembentukan Holding Ultra Mikro di bawah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) bertujuan untuk memperluas jangkauan layanan keuangan yang seluas-luasnya dan memberikan kredit dengan bunga murah kepada masyarakat.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, tantangan yang mendesak untuk Holding Ultra Mikro adalah bunga pinjaman yang murah. Sementara perluasan jangkauan sudah dijalankan dengan target bisa menangani 55 juta nasabah hingga 2024. Khusus tahun ini ditargetkan 5 juta nasabah ultra mikro.
Dia menekankan kunci utama untuk memurahkan bunga kredit ultra mikro ada pada biaya dana. Adapun dana yang dicari Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Pegadaian tidak akan bisa lebih murah dari BRI sehingga tidak bisa diandalkan untuk menurunkan bunga. Itu hanya bisa dilakukan BRI karena biaya dana atau cost of fund (CoF) BRI masih sekitar 2%.
Jika PNM dan Pegadaian mendapat biaya dana nol persen, bunga yang diberikan masih tetap jauh di atas 10%. Pasalnya,perusahan itu membutuhkan biaya menggaji karyawan yang akan melayani dan mendampingi naasabah dengan biaya overhead sekitar 10%.
Baca Juga: BRI Bakal Menebar Dividen Jumbo, Berikut Rekomendas Saham BBRI
"Jika ditambah pencadangan seandainya terjadi kredit macet sekitar 3% maka biayanya sudah mencapai 13%. Itu belum termasuk margin. Untuk menurunkan murah lebih murah dari itu rasanya tidak akan bisa kalau tidak ada campur tangan dari subsidi," kata Sunarso dalam paparan vitual yang dikutip, Senin (4/4).
Oleh karena itu, BRI mengusulkan ada empat solusi yang bisa dilakukan untuk memurahkan bunga ultra mikro. Pertama, produk ultra mikro dan supermikro harus diintegrasikan. Sunarso bilang, pihaknya akan mengkoordinasikan hal tersebut kepada pemerintah agar keduanya disatukan jadi KUR UMI saja dimana penyalurnya adalah Holding Ultra Mikro.
Sunarso mengatakan, saat ini PNM dan Pegadaian masih punya sumber dana giro dari Pusat Investasi Pemerintah dengan bunga 4% sehingga biaya yang harus dikeluarkan ditambah dengan biaya overhead dan lain-lain cukup tinggi. Sementara di saat yang sama, kredit ultra mikro ini harus berhadapan dengan program baru dari pemerintah yang dinamakan Super Mikro dimana bunganya disubsidi pemerintah sehingga nasabah hanya membayar 3%.
Kedua, menurunkan Batas Minimum Pemberian Kredit (BPMK) kepada pihak yang terafiliasi hanya 10%. Sunarso bilang, penurunan biaya dana bisa dilakukan dengan pemberian pinjaman dari BRI ke anak usaha. Namun, dengan adanya BMPK maka BRI hanya bisa memberikan kredit ke seluruh anak usaha sebesar Rp 24 triliun.
Untuk itu, BRI telah mengajukan pelonggaran BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tujuan pemberdayaan ultra mikro. "Kami minta dilonggarkan misalnya, 10% hanya untuk PMN saja atau pada Pegadaian. Kalau tidak 10% untuk PNM dan Pegadaian," tambah Sunarso.
Ketiga, BRI akan mengusahakan mencari sumber pendanaan ke luar negeri jika dua langkah di atas belum bisa memurahkan bunga. Pendanaan akan dikemas dengan surat utang berbasis environmental, social and governance (ESG) atau ESG Bond. Pendanaan seperti ini akan lebih murah karena Holding Ultra Mikro memiliki banyak unsur pemberdayaan.
Keempat, BRI mengusulkan dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang ditujukan untuk tujuan produktif dialihkan ke PNM atau ke Holding Ultra Mikro.
Sunarso menjelaskan, dana program kemitraan dalam program PKBL ditujukan kegiatan produktif. Sedangkan Bina Lingkungan itu merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Adapun total dana program kemitraan BUMN saat ini mencapai Rp 4 triliun.
"Kalau dana program kemitraan bisa dialokasikan di PNM atau ke Holding Ultra Mikro kalau dipercaya, itu bisa bunga kredit ultra miko diminimalisir. Untuk biaya overheadnya bisa kami turunkan melalui digitalisasi.Total dana PK itu ada sekitar Rp 4 triliun," imbuh Sunarso.
Baca Juga: BRI Menyetor Dividen Rp 14 Triliun ke Kas Negara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News