Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan perusahaan teknologi finansial atau tekfin (fintech) belakangan ini semakin pesat. Lihat saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total pinjaman yang dicairkan oleh fintech sudah mencapai Rp 13,8 triliun.
Jumlah tersebut meningkat signifikan sebesar 439,06% secara year to date (ytd). Artinya penyaluran pinjaman meningkat signifikan dari
Desember tahun lalu yakni Rp 2,56 triliun.
Pada periode yang sama rasio kredit bermasalah atau NPL fintech lending mencapai 1,20%.
Nilai tersebut meningkat dibandingkan Desember 2017 yang mencapai 0,99%. Sementara jumlah borrower pada September 2018 mencapai 2,3 juta entitas, dan jumlah lender mencapai 161.290.
Melihat pertumbuhan yang pesat ini, wajar bilang perbankan perlu mengambil sikap agar pasarnya tidak dicaplok oleh fintech atau kalah saing. Terutama untuk produk kredit tanpa agunan (KTA).
Meski begitu, sejumlah bank yang dihubungi Kontan.co.id mengaku tak khawatir KTA akan tergerus oleh fintech.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya yang menyebut saat ini pihaknya memang tidak menjadikan KTA sebagai mesin andalan penggerak kredit.
Direktur BCA Santoso Liem mengatakan produk KTA hanya berupa layanan tambahan untuk nasabah payroll. Toh menurutnya, pasar KTA saat ini masih sangat luas dan ada banyak pasar yang belum tersentuh atau sulit dijangkau perbankan.
"Saya pikir market di Indonesia terlalu besar dan penetrasi masih sangat luas. Selain itu produk KTA BCA target kami hanya sebagai suplement product untuk payroll," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (27/11).
Wajar saja, sejauh ini KTA BCA memang tak begitu besar, hanya Rp 50 miliar per September 2018. Jumlah yang sangat tipis kalau dibandingkan dengan total kredit BCA yang mencapai Rp 516 triliun pada periode tersebut.
Selain BCA, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga menyebut hal yang sama. Vice President Consumer Lending BNI Egos Mahar bilang kalau perbankan masih memiliki potensi pasar yang cukup besar untuk digarap tanpa harus masuk ke pasar fintech.
"Yang kami lakukan adalah mempertahankan pasar dengan melakukan digitalisasi proses agar lebih efisien dengan jangkauan pasar yang lebih luas," ujarnya.
Lanjutnya, perbankan tidak tertarik untuk masuk ke pasar fintech. Alasannya, perbankan takut hal tersebut malah akan meningkatkan rasio NPL. Lantaran KTA memang merupakan produk yang rawan NPL bila tidak dilakukan dengan hati-hati.
"Kami hanya biayai KTA yang payrollnya disalurkan melalui BNI dan institusinya tertentu saja. Payroll dan institusinya juga kami seleksi," ungkapnya.
Sejauh ini BNI sudah berhasil mencatatkan pertumbuhan produk KTA cukup signifikan yakni naik 40% secara year on year (yoy) di awal kuartal IV.
Tahun depan BNI tetap optimistis segmen KTA bisa tumbuh di atas 25%. "Kami optimistis tetap sustain tahun depan karena kami punya database yang cukup besar dengan penetrasi yang masih di bawah 10% (total nasabah payroll)," tambahnya.
Setali tiga uang, Direktur Utama PT Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi tak sependapat kalau fintech akan caplok pasar KTA bank. Menurutnya, bank tetap bia bersinergi dengan fintech.
Mayapada mencatatkan sejauh ini KTA sudah tumbuh setara dengan kredit komersial yaitu tumbuh 12%-13% secara yoy dan diprediksi masih akan tetap stabil sampai tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News