Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Meski bank berlomba-lomba memangkas suku bunga simpanan, para pemilik dana ternyata tak gentar menyimpan dananya di deposito. Apalagi bagi investor sepertiHarjanto Tjitohardjojo. Direktur Marketing PT Mandiri Tunas Finance ini mengaku, bunga deposito yang ia terima saat ini memang lebih kecil ketimbang sebelumnya. Namun, ia tidak mempermasalahkan hal tersebut, meski bunga yang didapatnya tak lebih tinggi daripada BI-rate. “Turunnya cuma 0,25%. Masih oke, lah,” kata Harjanto ringan.
Sikap Harjanto ini dilatarbelakangi profil investasinya yang memang konservatif. Saat ini, 75% dana investasinya dicemplungkan di deposito bertenor satu dan tiga bulan. Sisanya, disulap jadi aset tanah dan apartemen di berbagai lokasi.
Instrumen lain, seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI), reksadana, atau saham, belum menarik minat lelaki yang mulai merintis karier sebagai management trainee di Toyota Sales Operation PT Astra International Tbk pada tahun 1991 silam ini. Ia menganggap tenor ORI terlalu panjang sehingga kurang cocok dengan kebutuhannya.
Sementara untuk masuk ke reksadana atau saham, Harjanto tidak memiliki waktu untuk memantau pergerakan kedua instrumen tersebut. Lagipula, “Dalam kondisi ketidakpastian dan ekonomi kurang baik, menurut saya, deposito masih menjadi solusi teraman,” imbuhnya.
Meski berbeda profil risiko, sikap serupa Harjanto juga diambil Pardomuan Sihombing. Selama ini, dana yang ditempatkan Direktur PT Recapital Asset Management di deposito cuma sekitar 10% dari total investasinya. Kebanyakan ia taruh di properti sekitar 60%, saham 25%, dan sisanya dibiakkan melalui ORI. Porsi dana yang lebih kecil di deposito, lantaran ia memanfaatkan produk ini untuk menjaga likuiditas bagi kebutuhan jangka pendek. Deposito bukan instrumen untuk mengejar keuntungan.
Namun, beberapa bulan terakhir, meski bunga turun, porsi penempatan dana Pardomuan di deposito bertambah. Walau mengaku belum menghitung ulang, ia menyebutkan porsinya malah lebih besar dari dana yang ditempatkan di saham. Ini seiring tekanan di pasar saham yang belum mereda. “Saham lagi berfluktuasi jadi saya kurangi porsi aset berisiko atau saham. Sementara ditaruh di instrumen pasar uang dulu,” ujarnya.
Gema Goeryadi, Founder PT Astronacci International juga tak kuatir meski bunga deposito kian layu. Baginya, deposito berfungsi sebagai tempat penampung hasil investasi instrumen lain, seperti saham dan trading produk berjangka. Dana yang ditampung di deposito lantas diinvestasikan kembali ke instrumen lain. “Lagipula, bunga deposito di Indonesia masih tetap menarik dibanding bunga deposito di negara maju yang telah menganut bunga negatif,” katanya.
Jika investor ritel bergeming, pemodal institusi malah sudah melakukan switch portofolio akibat penurunan bunga deposito. Senior Fund Manager BNI Asset Management (BNI-AM), Hanif Mantiq bilang, akhir tahun lalu bank dengan kategori BUKU II masih bisa memberikan bunga deposito sekitar 10%–an. Sedangkan bunga bank BUKU III dan IV sekitar 9%–an. Tapi kini, rata-rata bunga deposito yang diberikan bank dari ketiga kategori tersebut sudah turun 1%.
Akibatnya, sejak sebulan terakhir BNI-AM pun mengubah komposisi penempatan dana di beberapa reksadana pasar uang yang mereka kelola. “Sekarang sudah geser menjadi 80% deposito dan 20% corporate bond. Tadinya di awal tahun 100% masih di deposito,” terang Hanif.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis BI, sepanjang periode Januari–Juli 2015, rata-rata bunga deposito di bank umum memang mengalami penurunan yang signifikan. Ambil contoh, deposito bertenor satu bulan yang turun 75 basis poin ke 7,71%. (lihat infografis).
Khusus bagi deposan berdana jumbo, bank-bank juga memangkas special rate yang selama ini mereka nikmati. Doddy Arifianto, ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mengatakan, sejak awal tahun bunga khusus yang diberikan kepada deposan kelas kakap rata-rata sudah turun 40 basis poin menjadi 8,4%.
Ditolong inflasi
Untungnya, bunga deposito yang rendah bisa sedikit terobati dengan laju inflasi yang melandai. Sepanjang tahun ini, menggunakan patokan batas atas asumsi dari bank sentral, inflasi diperkirakan hanya sebesar 5%.
Asumsi tersebut sangat mungkin tercapai. Bahkan tidak menutup kemungkinan realisasinya bisa lebih rendah lagi. Pasalnya, potensi kenaikan harga yang signifikan di tiga bulan terakhir 2015 sudah tereliminasi, setelah pemerintah mengumumkan harga premium dan solar tetap sampai di-review Januari 2016.
Faktor musiman pendongkrak inflasi yakni Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri juga sudah terlewati pada Juni–Juli lalu. Sementara inflasi akibat Natal dan liburan akhir tahun seperti sebelum-sebelumnya diyakini bakal lebih jinak. “Tahun ini inflasi akan di bawah target, salah satunya karena penurunan daya beli masyarakat,” kata Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Nah, kalau menggunakan patokan asumsi inflasi 5% dan suku bunga acuan Bank Indonesia alias BI rate yang 7,5% untuk simpanan rupiah di bank umum, riil interest rate yang didapat masih positif 2,5%. Tapi, kalau melongok ke setiap bank yang sudah memangkas counter rate deposito, maka riil interest rate sebetulnya lebih kecil lagi, meski masih positif (lihat tabel).
Tapi, dibanding tahun lalu, tingkat bunga riil yang berpotensi diperoleh tahun ini ternyata jauh lebih bagus. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahun lalu mencapai 8,36%, sedang BI rate di 7,5%. Artinya, riil interest rate minus 0,86%. Kalau memakai ukuran rata-rata bunga deposito tenor satu bulan di 2014 yang 8,22%, riil interest rate-nya masih minus 0,14%.
Lantas, bakal seperti apa nasib bunga deposito di sisa tahun ini dan hingga tahun depan? Doddy menilai, tren penurunan bunga deposito bakal berlanjut di tiga bulan terakhir 2015. Alasannya, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan terus melemah. BI sendiri merevisi target pertumbuhan kredit pada 2015 dari 15%–17% menjadi 13%–15%. Di sisi lain, likuiditas di perbankan juga tidak seketat tahun lalu. “Bank tidak memiliki alasan kuat untuk terus menarik dana mahal dari masyarakat,” kata Doddy.
Sementara untuk tahun depan, Doddy memprediksikan bunga deposito bakal cenderung stabil. Indikasinya, lagi-lagi ditengok dari asumsi pertumbuhan kredit perbankan yang mencapai 14%. Sementara dana pihak ketiga (DPK) hanya diproyeksikan tumbuh sebesar 12%.
Faktor lain yang akan mempengaruhi tren bunga deposito adalah kebijakan BI rate. Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) kembali dispekulasikan bakal menaikkan fed funds rate pada 29 Oktober 2015 atau 16 Desember 2015 mendatang. Dengan skenario ini, BI akan dihadapkan pada tiga pilihan: mempertahankan BI rate di posisi 7,5%, ikut menaikkan, atau malah memangkas bunga acuan.
Enny dan I Made Adi Saputra, analis BNI Securities, berharap, BI akan menurunkan suku bunga acuan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Harapannya berikutnya, tentu saja suku bunga kredit juga ikut merunduk. “Kalau BI rate malah ikutan naik, kita akan kewalahan menggenjot pertumbuhan ekonomi,” tegas Made.
Hanya, Doddy menyebutkan pemangkasan BI rate tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Betul, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi bakal positif. “Tapi, kalau melihat rupiah tertekan begini, susah BI rate turun,” katanya.
Enny menilai, alasan tekanan terhadap nilai tukar rupiah kurang pas digunakan untuk menahan BI rate. Sebab, selain akibat persoalan internal, kurs rupiah banyak dikendalikan oleh faktor eksternal yang tidak mampu dijinakkan BI.
Nah, jika BI rate awal tahun depan disunat seperti yang diharapkan Made dan Enny, bunga deposito berpotensi kian menipis. Sebaliknya, kalau dinaikkan, bunga deposito berpeluang ikut terkatrol.
Harjanto sendiri sudah siap dengan kemungkinan bunga deposito bakal dipangkas lagi. Jika penurunannya signifikan, ia akan mempertimbangkan kemungkinan memindahkan sebagian dana dari deposito ke instrumen yang lain. Salah satunya ke emas fisik.
Mending ke obligasi
Namun sejatinya, switching ke emas fisik lantaran alasan bunga deposito turun, tidak selalu menguntungkan, lo. Soalnya, meski sama-sama kerap digunakan untuk menyimpan hasil investasi instrumen lain, kedua produk ini memiliki karakteristik yang berbeda.
Dalam jangka pendek, di bawah setahun, investasi emas fisik belum menguntungkan. Tengok saja pergerakan harga emas Antam. Sepanjang tahun lalu, selisih harga jual Logam Mulia Antam dengan harga beli di akhir tahun malah minus
Rp 10.000 per gram.
Sementara untuk tahun ini, per 31 Desember 2014, harga jual Logam Mulia pecahan satu kilogram sebesar Rp 489.000 per gram. Sedangkan per 1 Oktober 2015, harga buyback di gerai Logam Mulia Antam hanya Rp 500.000 per gram. Artinya, dalam sembilan bulan keuntungan yang dihasilkan cuma Rp 11.000 per gram, atau sekitar 2,25% (year-to-date/ytd).
Dalam jangka panjang, emas memang bisa lebih menguntungkan. Tapi, ya, itu tadi, karakter deposito lebih singkat, tenor yang banyak digunakan adalah 12 bulan ke bawah. Sehingga, kurang pas kalau investasi emas fisik kemudian dibandingkan dengan deposito.
Yang lebih menarik justru switching sebagian dana ke instrumen obligasi. Sebab, penurunan suku bunga deposito beberapa bulan terakhir membuat selisih dengan imbal hasil obligasi semakin melebar.
Surat Utang Negara (SUN) yang jatuh tempo kurang dari setahun, misalnya, per 29 September bisa memberikan yield 8,1%. Sedang obligasi korporasi dengan rating AAA, menurut catatan Made, imbal hasilnya bisa mencapai 8,7%–9%.
Nah, investor ritel bisa melirik reksadana pasar uang yang beraset dasar obligasi jatuh tempo kurang dari setahun dan deposito. Atau, kalau mau pegang barangnya langsung dengan modal yang lebih kecil, ORI juga layak dilirik. Sebab, ORI seri 012 yang telah ditawarkan sejak 21 September lalu hingga 15 Oktober 2015 mendatang, menjanjikan kupon atawa bunga hingga 9%.
Betul, tenor ORI memang hingga tiga tahun. Tapi, setelah melalui grace period dua bulan, Anda bisa menjualnya di pasar sekunder, dengan potensi dua jenis keuntungan. Pertama, keuntungan atas kupon yang diterima saban tanggal 15 mulai November 2015. Kedua, keuntungan dari selisih harga beli di pasar primer dengan harga jual di pasar sekunder.
Mau ikut mengalihkan deposito ke instrumen lain?
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 2-XX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News